Selasa, 18 Juni 2024

Gadis SMA dan Rahasianya - Chapter 2

Bel kelas berdering.

Sinar matahari senja yang masuk melewati jendela kelas menandakan bahwa hari sudah sore dan sekolah telah usai.

Di saat siswa lain sudah beranjak pulang bersama teman-temannya, gadis itu masih sibuk membereskan lembaran-lembaran kertas yang ada di atas meja. Satu persatu lembar hasil ujian itu ia masukkan secara perlahan ke dalam tas.

100, 95, 98...

Pada lembaran kertas itu, terlihat bahwa nilai yang didapatkan gadis itu semuanya hampir sempurna.

Hehe, aku tidak sabar memperlihatkan nilai ini kepada Om.

Ia tersenyum senang, tidak sabar akan waktu bertemu dengan pria yang usianya lebih tua itu di stasiun kereta nanti malam.

Semenjak bertemu pria itu, ia terkadang tersenyum-senyum sendiri di kelas karena ada hal yang ditunggu setelah pulang sekolah. Rasanya, bersekolah hanya menjadi sebuah alasan agar dapat berjumpa sepulang sekolah. Kali ini, ia ingin memperlihatkan semua pencapaian ujiannya.

Ketika tangannya sedang berusaha mengambil sesuatu dari laci mejanya, tiba-tiba ia menyadari sesuatu yang aneh.

“Eh?”

Earphone yang biasa ia gunakan tidak ada di situ. Kabelnya yang selalu terlilit apabila ditempatkan di dalam laci meja tidak terasa di jari jemarinya.

Saat ia melihat ke dalam, nyatanya earphone miliknya memang tidak ada di situ.

Gadis itu pun menghela nafas, seakan kejadian ini sudah menjadi hal yang biasa.

Tak lama, ia pun beranjak dari bangkunya dan pergi keluar dari kelas.

Ketika keluar dari pintu kelas, ia menginjak sesuatu. Saat melihat ke arah kakinya, di situlah ia menemukan earphone kabelnya tergeletak. Namun, speaker bagian kiri sudah terpisah dari kabelnya, terlihat seperti dipotong dengan sengaja menggunakan gunting.

Samar-samar terdengar beberapa siswa tertawa dari kejauhan.

Mereka lagi...

Rupanya, hal ini sudah cukup lumrah dialami oleh gadis itu. Memang ada beberapa orang di kelasnya yang tidak suka dengannya. Terkadang gadis itu pun bingung, apa yang mereka tidak sukai darinya? Apakah penampilan, sifat, atau hal lain yang tidak disadari olehnya? Entah semenjak kapan semua ini dimulai, tapi untuk sekarang ia sudah terlalu lelah bila harus merasa kesal setiap kali hal ini terjadi. Yang bisa ia lakukan hanyalah membiarkannya dan bertindak seakan tidak terjadi apa-apa.

Dan tidak bedanya seperti kemarin-kemarin, hari ini pun ia memutuskan untuk beranjak pulang dan tidak terlalu memikirkannya.

 

***

 

“Akhirnya... sampai juga...”

Sebelum melanjutkan langkah, aku berusaha mengatur nafasku terlebih dahulu.

Seperti biasa, aku harus bekerja hingga larut malam dan berlari dari peron bawah Stasiun Manggarai hingga ke peron atas agar tidak tertinggal kereta. Wajar saja bila aku tergesa-gesa seperti ini. Aku ingat sekali waktu pertama kali bekerja di Jakarta—jujur saja aku sebagai bukan orang asli Jakarta, tidak pernah menyangka ada yang namanya bekerja sampai tengah malam—dan pertama kalinya OT[1], aku tertinggal kereta di detik-detik terakhir. Ketika tiba di peron atas, keretanya sudah dalam posisi bergerak meninggalkan stasiun.

Lalu bagaimana aku pulang? Tentu saja tidak, aku memutuskan untuk mencari masjid lokal dan menumpang tidur di sana. Untungnya keesokannya adalah hari libur.

Ya intinya aku akan melakukan apapun demi kereta terakhir.

Sekarang, aku tinggal menunggu kereta sembari duduk di—

Rupanya, seorang gadis sudah duduk di bangku yang aku tuju.

Entah sudah berapa kali kami bertemu di stasiun ini sebelum kereta terakhir, tapi hingga sekarang aku sendiri masih belum tahu namanya.

Yang pasti, ia adalah seorang gadis SMA—karena seragamnya—yang entah bagaimana harus pulang larut malam. Kadang aku berpikir, apa reaksi orang tuanya bila mengetahui anak gadis mereka bertemu dengan mas-mas kantoran setiap pulang larut malam. Bagaimanapun juga, aku yakin gadis ini pasti memiliki masalahnya sendiri.

Ya, bukan urusanku sih, tapi karena di saat yang sama aku juga memiliki seorang adik perempuan yang juga sedang di jenjang SMA, aku jadi suka ikut terpikirkan juga.

Ah sudahlah, aku ingin segera duduk.

Seakan tidak terjadi apa-apa, aku memutuskan untuk duduk di sebelah gadis itu.

Mungkin muncul pertanyaan, kok bisa aku se-santai itu untuk duduk begitu saja di sebelah seorang gadis SMA?

Bukannya aku tidak tahu malu, mungkin karena aku sudah cukup sering bertemu dan mengobrol dengannya, rasanya biasa saja ketika aku datang bertemu dan menghampirinya.

Seperti sekarang ini, ia menyadari keberadaanku dan langsung menyapaku begitu saja.

“Oh! Ada Om. Selamat malam Om.” Ucap gadis itu sambil tersenyum ke arah ku.

“Iya, selamat malam.”

Walaupun tadi aku bilang bahwa aku sudah cukup sering mengobrol dengannya, tapi pada akhirnya semua obrolan itu hanya sekedar basa basi seperti ini. Setelah kami saling bertukar sapa,  aku mengeluarkan ponselku dan mulai fokus ke konten yang ada di dalamnya.

Entah sudah berapa lama—kayaknya masih sebentar deh—aku scrolling aplikasi sosial media di ponselku, aku merasakan bahwa ada yang menatapku dari tadi.

Benar saja, rupanya aku sedang diperhatikan oleh gadis SMA itu. Ekspresinya cukup datar selama mengamatiku, membuatku kesulitan untuk memahami apa yang sedang ia pikirkan.

“Uh... Ada apa ya?”

Gadis itu hanya tersenyum kepadaku.

“Gak ada apa apa, hehe.”

Aku benar-benar tidak tahu apa yang dipikirkan oleh gadis SMA ini.

Belum sempat mengalihkan pandanganku dari dia, mataku tertuju kepada tas yang sedang ia pangku di depannya. Resleting nya tidak tertutup rapih dan aku bisa melihat beberapa lembar kertas. Ya mungkin saja itu kertas yang berisi tugas atau semacamnya.

“Itu resleting tas kamu masih kebuka, hati-hati nanti barang-barangnya jatuh.”

“Eh?”

Gadis itu melihat ke arah resleting tasnya dan langsung menutupnya. Ia pun kembali melamun ke arah rel kereta.

“Kamu lagi banyak PR ya kayaknya?”

“PR?”

“Tadi aku ngeliat kayaknya banyak banget kertas di dalam tas kamu.”

“Oh, itu bukan kertas PR sih. Tapi hasil ujian tengah semester kemarin.”

Ah iya, kalau tidak salah mereka memang dulu mengadakan ujian tengah semester di sekitar bulan ini. Sudah lama sekali aku tidak mendengar istilah itu.

“Om mau liat hasil ujian aku?”

“Boleh kah?”

“Boleh aja kok. Aku emang niat untuk memperlihatkannya kepada Om.” Ia tersenyum senang.

Entah mengapa senyumannya kali ini agak berbeda. Senyumannya terasa lebih... manis—

Astaga! Sadar woy! Dia tuh anak SMA, jangan mikir yang aneh-aneh. Lagipula, anak SMA mana yang udah niat banget untuk ngasih liat nilai hasil ujiannya ke orang asing sepertiku!?

Gadis itu mengeluarkan satu per satu lembar kertas yang tadi aku lihat. Di situ, terlihat lembaran ujian dengan tata letaknya yang cukup universal. Ada kolom nama, kelas, nilai... Sebentar, kalau ada kolom nama, berarti aku dapat mengetahui nama—

Ah lupakan saja, entah bagaimana sepertinya gadis itu tahu bahwa aku akan menggunakan kesempatan ini untuk mengetahui namanya. Saat aku melihat kertas-kertas itu lebih dekat, setiap kolom namanya sudah ia coret agar namanya tidak terlihat.

Seakan tahu apa yang aku pikirkan, ia hanya tersenyum menggoda kearah ku, merasa menang karena berhasil mencegahku untuk mengetahui namanya.

Baiklah aku menyerah soal nama...

Bagaimanapun juga, aku terkejut ketika melihat bahwa nilai yang ia dapatkan semuanya hampir sempurna—tidak ada yang di bawah 95.

“Wah, aku tidak menyangka rupanya kamu pintar juga.”

Sepertinya ia kurang senang dengan responku.

“Maksud Om apa ngomong begitu?” ucapnya sambil sedikit cemberut.

“Ah, bukan seperti itu. Maksudku kamu kan sering sekali aku lihat pulang selarut ini. Jadinya aku pikir kalau kamu gak akan punya waktu buat belajar. Tapi sepertinya aku salah sangka.”

“Oh, aku biasa menghabiskan akhir pekanku untuk belajar.”

Eh?

“Serius? Kamu enggak main bareng teman atau pergi bersama keluarga?”

“Kalau sama keluarga sih sesekali pernah. Tapi kalau teman... Kayaknya gak pernah.”

Tunggu dulu. Jangan bilang kalau gadis ini tidak punya...

“Tenang aja Om. Gak perlu mikir yang aneh-aneh. Mungkin kesannya agak gimana gitu. Tapi aku cukup terbiasa. Toh, di kelas juga...”

Tiba-tiba ia terdiam. Dari raut wajahnya ia terlihat seperti teringat sesuatu yang kurang menyenangkan.

“Lupakan saja Om. Gak terlalu penting, hehe.” Ia tersenyum. Tapi kali ini senyumannya beda. Rasanya, seperti sedikit dipaksakan.

Tiba-tiba aku merasa ada yang berbeda dari penampilannya—atau lebih tepatnya barang bawaannya—dari yang biasa.

Rupanya, ia tidak mengenakan earphone yang terpasang ke ponselnya. Pantas saja dari tadi ia tidak membuka ponsel, melainkan hanya melamun ke arah rel kereta. Padahal, tiap kali bertemu ia sedang dalam posisi menonton atau mendengarkan sesuatu.

“Tumben kamu gak pake earphone.”

Ia agak terkejut mendengar komentarku.

“Ah, Om nyadar ya?”

“Ya soalnya setiap kali ketemu kamu selalu lagi nonton atau mendengarkan sesuatu di hape kamu.”

“Ahaha... Begitu ya. Yah aku belum nemu earphone baru sih, jadi untuk sementara gak bisa dengerin apa-apa dulu di tempat umum.”

“Emangnya earphone yang lama kemana?”

“... Rusak.”

Begitu rupanya. Entah mengapa ia sedikit memberi jeda sebelum menjawabku. Mungkin itu hanya aku yang berpikir berlebihan.

“Namanya juga earphone abal-abal sepuluh ribuan, jadi pasti gampang rusak. Om gak usah terlalu khawatir.” Ia pun kembali tersenyum. Lagi-lagi, senyumannya terlihat dipaksakan.

“Oh iya, aku jadi penasaran. Dulu Om waktu SMA kayak gimana sih?”

“Eh?”

Hah? Kenapa tiba-tiba nanyain masa SMA ku?

“Hmm... Masa SMA ya... Jujur aku gak inget semuanya sih. Udah lama banget soalnya. Memangnya kenapa gitu kamu penasaran?”

“Aku... cuman penasaran dulu Om waktu SMA orangnya kayak gimana, hehe.”

“Yah, bisa dibilang gak jauh beda dengan anak SMA lainnya—“

 

“Kenapa sih kamu gak bisa sekolah yang bener!?”

 

Ah iya, sepertinya pernah ada kejadian seperti itu.

Tiba-tiba aku teringat dengan beberapa hal yang pernah terjadi dulu. Ya, bisa dibilang masa SMA ku bukanlah sebuah hal yang sangat buruk sampai-sampai aku trauma mengingatnya, tapi juga bukan sesuatu yang bisa aku banggakan juga.

Teman, guru, dan orang tua, semua komponen itu adalah bagian yang tidak bisa terlepaskan dari masa SMA.

Dimarahi oleh guru karena melanggar aturan, bertikai dengan teman karena berbeda pendapat, dan orang tua kesal karena melihat kita hanya bermain-main saja di sekolah. Namun, di saat yang sama guru akan mendukung kita sepenuh hati untuk masa depan, teman akan selalu ada di sana sebagai tempat cerita, dan orang tua akan menjadi tempat yang bisa kita sebut sebagai rumah.

Dan satu hal lagi yang cukup banyak merubah orang di masa SMA nya, percintaan. Ada dari mereka yang pertama kali merasakan jatuh cinta, bahkan ada pula yang dalam tiga tahun nya sudah berganti-ganti orang yang dicintainya.

Ada juga yang harus merasakan kandasnya cinta untuk pertama kalinya, dan ada pula yang sudah terbiasa berkali-kali diakhiri hubungannya oleh pasangannya.

Walaupun kita sekolah hingga SMA untuk menuntut ilmu, lucunya kita masih dapat fokus dan memikirkan hal-hal tersebut seakan-akan hidup kita hanya berkutat kepada pertemanan dan percintaan.

Mungkin, itulah kebebasan dari sesuatu yang disebut sebagai ‘kehidupan anak SMA’.

Aku pun menatap gadis itu. Bisa kulihat dari pancaran wajahnya banyak sekali rasa penasaran dan ingin tahu, terutama tentang masa SMA ku.

“Kalau mau tahu lebih jelasanya, bisa dibilang masa SMA ku bukanlah sesuatu yang bisa ku banggakan. Tapi juga bukan hal yang buruk sampai-sampai harus aku tutup-tutupi. Pergi sekolah, ngobrol sama teman di bangku belakang, dimarahi oleh guru karena berisik, dimarahi orang tua di akhir semester karena ada nilai yang jelek, hingga masalah percintaan seperti memiliki pacar... Yah kira-kira begitulah kalau mau diringkas.”

Gadis itu masih dengan tatapan yang sama. Terutama ketika aku menyinggung soal teman dan percintaan, ekspresinya sedikit berubah sesaat, tapi langsung kembali seperti semula.

“Dibandingkan dengan sekarang, bisa dibilang bahwa masa SMA itu adalah waktu dimana aku benar-benar merasa hidup. Merasa bahwa aku dapat melakukan segalanya, hari esok akan lebih baik, dan sebagainya.”

Dimarahi atasan, bekerja sampai larut malam dan harus kembali pagi harinya, ancaman pemotongan gaji hingga ancaman pemecatan, tidak ada teman dan tidak ada waktu untuk mencari teman. Percintaan? Bagiku suatu kemewahan kalau masih sempat memikirkan hal itu.

Aku kembali menatap gadis itu, kali ini dengan tatap yang lebih dalam.

“Karena itu, aku harap kamu sebagai anak SMA, dapat menikmati kehidupan SMA mu sebaik mungkin. Mencari banyak teman, sering mengobrol dan bermain bersama mereka, tapi di saat yang sama tidak lupa dengan kewajiban menuntut ilmu. Atau mungkin, merasakan pengalaman cinta SMA. Aku rasa, tidak ada yang salah dengan hal itu. Bahkan, mungkin ketika kamu sudah besar nanti, atau mungkin sudah berusia sepertiku, kamu dapat melihat kembali ke belakang dan mengatakan ‘aku tidak menyesal melakukan semua itu’ sambil tersenyum dan merasa bangga.”

Tanpa sadar, aku tersenyum sembari mengatakan semua hal itu. Entah aku tersenyum karena teringat kenangan indah dulu, atau senyuman putus asa karena tahu apa yang telah terjadi tidak dapat diubah.

Tiba-tiba, tanganku bergerak dengan sendirinya.

“Melihat nilai-nilaimu yang bagus, padahal di saat yang sama harus selalu pulang larut malam, aku tidak tahu lagi kata apa yang dapat menggambarkan perasaan kagumku ini padamu.”

Ya, kau hebat sekali. Hanya itu yang ada dipikiranku.

Tak lama, aku tersadar bahwa tanganku saat ini sedang mengelus-ngelus kepalanya.

“...!”

Aku langsung menarik tanganku, merasa tidak enak dan khawatir akan dikira sebagai kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur oleh petugas keamanan stasiun.

“Ya Tuhan, maafkan aku, aku tidak bermaksud...”

Gadis itu hanya tertunduk, tidak mengatakan apa-apa.

Sial, aku pasti membuatnya tidak nyaman.

“Aku tidak suka, Om memperlakukanku seperti anak kecil.”

Tuh kan! Ah sial, pasti bentar lagi dia akan melapor ke petugas keamanan. Oh masa depan ku—

“Tapi...”

Eh? Kenapa tiba-tiba ia tersenyum?

“Aku senang, karena Om senang dengan nilai-nilai ku. Terima kasih.”

Ia tersenyum menyeringai, seakan-akan baru pertama kali dipuji oleh seseorang. Seakan sudah menunggu lama untuk seseorang mengatakan bahwa mereka bangga, kagum, dan menghargai seluruh perjuangannya.

Kalau memang benar begitu, apakah guru di sekolah, atau orang tuanya di rumah tidak pernah mengatakan bahwa mereka bangga padanya?

Lagi-lagi aku teringat bahwa dihadapannya, aku ini tetaplah orang asing yang kebetulan menjadi teman mengobrolnya di stasiun sebelum kereta terakhir.

Tapi, aku menjadi penasaran. Terutama ketika aku menyinggung tentang pertemanan dan percintaan. Mengapa ekspresinya seperti itu?

“Kalau boleh tau, kamu sendiri di sekolah kayak gimana?”

Tiba-tiba wajahnya membeku. Tidak terlihat ekspresi apapun di mukanya.

Tak lama, kereta terakhir pun datang. Tanpa menjawab pertanyaanku, gadis itu langsung beranjak dari bangkunya dan naik ke kereta tanpa mengucapkan apapun.

Oops, sial. Sepertinya aku baru saja menginjak ranjau.

Aku pun langsung ikut naik ke kereta—tentunya menuju ke gerbong yang berbeda—untuk segera pulang.

Di rumah, aku terus terpikirkan mengenai reaksi dari gadis itu.

“Sepertinya, esok aku harus meminta maaf dengan benar karena sudah terlalu ikut campur.”

 

***

 

Saat aku tiba di stasiun, aku melihat gadis itu sudah duduk di bangku yang sama seperti kemarin. Ia hanya melamun ke arah rel kereta tanpa mengenakan earphone maupun membuka ponselnya.

Aku pun datang menghampirinya.

“Ha-Halo,” sapaku dengan sedikit gugup.

Ia menoleh ke arahku.

Aku terkejut ketika melihat wajahnya dari dekat. Terlihat bekas tetesan air mata di sekitar matanya yang lebam, seakan saja ia baru selesai menangis.

Ketika menyadari kehadiranku, ia langsung mengusap matanya dan berusaha menghilangkan jejak air matanya.

Aku tidak akan menanyakan apapun tentang hal itu.

Iya, aku yakin anak SMA seperti dia pasti memiliki masalahnya tersendiri, dan bukan urusanku untuk ikut campur di dalam kehidupannya.

“Ah, halo Om. Selamat malam.” Ia menyapaku sembari mengembalikan senyumannya yang biasa.

 Aku pun membalas senyumnya, lalu duduk di sebelahnya.

Setelah aku duduk, kami pun hanya terdiam sembari menunggu kereta datang. Sesekali aku melihat kearahnya, dan benar saja sedari tadi wajahnya menunjukkan seakan ada sesuatu yang sedang ia pikirkan.

Ah, benar. Aku hampir lupa.

Tanganku merogoh isi ransel milikku untuk mengambil sesuatu. Melihat tindakanku yang tiba-tiba, gadis itu menoleh ke arah ku. Ia seakan bingung dengan apa yang aku lakukan.

Tak lama, aku mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Sebuah tas belanja kecil dengan merek sebuah perusahaan gadget yang di dalamnya terdapat suatu benda berbentuk kotak.

“Ini untukmu,” ucapku pada gadis itu sembari memberikan tas belanjaan tadi.

“Eh?” Dari wajahnya ia terlihat cukup kaget.

Awalnya ia sempat menolak dan merasa tidak enak. Ya wajar saja, bayangkan kalau tiba-tiba ada seorang pekerja kantoran yang ngasih suatu barang—yang tidak diketahui isinya—kepada seorang gadis SMA saat larut malam begini. Dapat dipahami kalau ia agak terkejut dengan apa yang baru saja kulakukan.

“Ini apa Om?”

“Udah buka aja.”

Gadis itu pun membuka tas belanjaan yang aku berikan.

Ketika ia mengambil barang yang ada di dalamnya, wajahnya menjadi terlihat sangat senang. Sampai-sampai rasanya ekspresi sedihnya tadi hanyalah suatu kebohongan. 

Kotak itu adalah bungkus dari sebuah earphone tidak berkabel—atau biasa disebut TWS[2]—yang diproduksi oleh perusahaan yang memiliki nama seperti nama buah.

Namun, ia segera mengembalikan ekspresinya dengan cepat seperti semula.

“Ini... untukku?”

Yep, tentu saja.” Balasku dengan tersenyum.

“Tapi, bukankah ini cukup... mahal?”

Dia tidak salah sih, tapi mau bagaimana lagi. Jika berkaitan dengan hal yang akan digunakan sehari-hari, terutama gadget yang bisa awet untuk waktu yang lama, aku tidak terlalu masalah untuk mengeluarkan lebih.

“Enggak apa-apa. Justru aku pilih yang seperti itu agar awet, agar kamu tidak perlu lagi gonta-ganti earphone.”

Ya, mengingat kemarin ia sempat mengatakan bahwa ia selalu membeli earphone yang harganya hanya sepuluh ribuan, tentu saja akan lebih pantas bila ia memakai yang sedikit lebih mahal tapi dapat bertahan lama.

”Ah iya, ada satu barang lagi yang lupa aku keluarkan.”

Aku segera kembali mencari sesuatu dari dalam tas ku. Setelah aku mendapatkannya, benda itu langsung aku berikan kepada gadis itu.

“Ini adalah case dari wadah earbuds itu. Aku minta maaf kalau mungkin warnanya bukan selera kamu, aku hanya mengira-ngira saja saat membelinya.”

Kudengar belakangan ini memang banyak orang menggunakan case khusus untuk wadah earbuds mereka. Beberapa rekan kerjaku pun—terutama yang wanita—banyak yang menggunakannya. Ada yang bermotif tertentu, ada pula yang bisa dikaitkan dengan aksesoris lain. Namun, yang aku belikan untuk gadis ini adalah case polos berwarna oranye muda. Kalau tidak salah, arti dari warna itu menggambarkan optimisme dan entusiasme masa muda—kira-kira itu yang aku dapatkan setelah mencarinya di Google.

Setelah menjelaskan semua itu kepadanya, gadis itu hanya tersenyum dan tertawa kecil.

“Om ada-ada saja.”

“Haha... maaf kalau terkesan aneh. Maksudku, bayangkan ada orang tak dikenal tiba-tiba memberikanmu sebuah hadiah yang mungkin tidak biasa bagi anak SMA.” Aku hanya dapat tersenyum tidak enak.

Mendengar perkataanku, gadis itu menggelengkan kepalanya.

“Enggak kok. Buat aku, apa yang Om lakukan itu enggak aneh. Aku tahu, kalau Om itu orang baik.”

Ia tersenyum. Dari senyumannya, terlihat perasaan tulus—ia benar-benar senang dengan apa yang aku lakukan. Mungkin aku agak salah lihat, tapi pipinya terlihat memerah.

“Syukurlah kalau kamu memang menyukainya.”

Gadis itu melihat-lihat kotak barang tersebut, seakan-akan menunggu sesuatu.

“Um... Om, apa aku boleh buka sekarang barangnya? Aku ingin mencobanya.”

Ternyata dia sudah tidak sabar memakainya.

“Oh, tentu saja boleh. Silahkan.”

Ia pun membuka kotak tersebut, mengambil wadah earbuds dan mengeluarkan kedua earbuds dari dalamnya. Setelah itu ia mengenakan kedua earbuds tersebut dan menghubungkannya ke ponsel. Ia pun mulai menyetel musik.

Ekspresinya terlihat cukup puas. Mungkin karena nyaman digunakan ataupun suara yang dihasilkan enak didengar, aku tidak terlalu paham tapi aku bersyukur karena ia cukup menyukainya.

Di tengah-tengah mendengarkan musik, tiba-tiba ia mengatakan sesuatu.

“Anita.”

“Huh?”

Mendengar nama itu, akupun terdiam ditempat. Belum sempat memahami apa maksud dari perkataan gadis itu, kereta tujuan Bogor pun tiba. Suara kereta mengisi kesunyian di antara kami berdua.

“Itu namaku.”

“Namamu?”

Ia tersenyum dan masuk ke dalam kereta begitu saja. Aku hanya dia memperhatikannya berjalan ke dalam gerbong khusus wanita, masih berusaha untuk memproses apa yang baru saja gadis itu katakan.

“Permisi Mas, Mas nya mau naik kereta? Ini kereta terakhir udah mau berangkat.”

Tiba-tiba petugas keamanan menghampiriku dan memberitahukan hal tersebut.

Ah iya, aku juga harus segera masuk.

Untuk mencegah tertinggal kereta lagi—seperti dulu awal bekerja di Jakarta—aku segera bergegas masuk ke kereta. Tentu saja aku tidak mengikuti gadis itu ke gerbong khusus wanita.

Setibanya di rumah, aku langsung berbaring. Namun, setelah mendengar nama itu, entah mengapa aku tidak bisa tidur. Aku membayangkan penampilan gadis itu dan menyandingkannya dengan namanya, dan rasanya nama itu cukup menggambarkan gadis itu sekali—entah mengapa.

Tapi, dimana aku pernah mendengar nama itu?

“Anita...”



[1] Overtime (lembur)

[2] True Wireless Stereo: Earphone yang benar-benar tidak berkabel dan hanya berupa dua buah earbuds.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gadis SMA dan Rahasianya - Chapter 2

Bel kelas berdering. Sinar matahari senja yang masuk melewati jendela kelas menandakan bahwa hari sudah sore dan sekolah telah usai. Di ...