Jam menunjukkan pukul 11 malam lebih 20 menit. Suasana Stasiun Manggarai yang terkenal selalu ramai karena stasiun transit terlihat cukup sepi. Bila biasanya di jam berangkat kerja ataupun tengah hari selalu terlihat hiruk pikuk manusia yang bergegas mencari kereta sambungan, saat ini suasananya tidak jauh berbeda dengan stasiun-stasiun kosong lainnya.
Memang cukup mengesalkan fakta bahwa aku ada di sini
dan harus merasakan kekosongan Manggarai. Bukannya aku tidak mensyukuri stasiun
yang kosong dan tidak perlu bersinggungan dengan banyak orang, tapi biasanya
kereta jam segini muncul hanya satu jam sekali.
Untungnya aku tiba pada waktu yang tepat untuk menaiki
kereta terakhir.
Kantorku berada di distrik bisnis yang ada di sekitar
Sudirman. Karena itu setelah menjalani rapat
yang sebenarnya dapat dilakukan besok—entah mengapa atasanku bersikeras
untuk melakukannya malam hari—aku langsung berlari menuju Stasiun Sudirman dan
naik kereta ke arah Manggarai. Untung saja aku sempat untuk mengejar kereta ke
arah Bogor.
Rumahku ada di sekitar daerah Depok—sangat disayangkan
memang—jadi walaupun malam ini aku bisa merasa tenang di Manggarai, esok pagi
aku harus siap kembali berdesak-desakan di stasiun ini.
Aku hanya dapat menghela nafas mengetahui semua itu.
Sembari menunggu kereta, aku iseng melihat ke sekitar.
Kulihat ada seorang ibu-ibu yang membawa tas jinjing besar, seorang pak tua
yang duduk sambil merunduk di bangku tunggu prioritas, dan beberapa petugas
penjaga stasiun.
Ketika aku melihat ke sisi lain peron, aku terkejut
karena menemukan pemandangan yang tidak biasa di stasiun ini ketika malam hari.
Karena aku sudah cukup sering pulang larut seperti ini, aku lumayan familiar
dengan pemandangan stasiun kereta mendekati tengah malam. Tapi baru pertama
kali ini aku melihat ‘anomali’ dari lingkungan sekitar.
Maksudku, siapa juga yang mengira akan bertemu seorang gadis SMA dengan seragam putih abu nya ikut menunggu dengan angkatan pulang telat tengah malam?
Apakah anak jaman sekarang memang begitu?
Mereka terbiasa dengan yang namanya bermain di luar
sampai larut dan kembali bersekolah seperti biasa saat pagi, begitu kah?
Yah, antara dulu aku tidak pernah begitu jadinya aku
tidak sadar, atau pola pikirku yang memang menjadi lebih kolot.
Tapi bila kuperhatikan, gadis SMA itu tidak terlihat
seperti tipikal anak cewek yang biasa bermain sampai larut atau suka hang
out kemana-mana. Maksudku, ia tidak mengenakan make up yang mencolok (Anak
SMA sekarang suka seperti itu kan?), gaya rambut panjang se-bahu yang biasa dan
dibiarkan begitu saja menujukkan tipikal gadis SMA pada umumnya, tidak
mengenakan jaket atau luaran seragam yang bermerek populer di kalangan anak
muda, bahkan aku tidak melihat aksesoris-aksesoris lucu yang biasa kulihat
digunakan oleh gadis SMA lainnya—aku tahu karena sering naik kereta dan disana
banyak anak SMA, jadi jangan berpikir aneh-aneh.
Ekspresinya pun juga tidak menunjukkan hal yang
spesial. Sepertinya ia sedang fokus melihat atau membaca sesuatu pada
ponselnya... atau mungkin dia sedang menonton atau mendengarkan sesuatu, karena
di telinganya terlihat sepasang earphone yang terhubung dengan kabel ke
ponselnya.
Wah rupanya masih ada anak SMA yang menggunakan
earphone berkabel.
Kukira anak muda sekarang sudah tidak mengenal earphone
berkabel.
Entah berapa lama aku memperhatikan dia, tiba-tiba
saja ia menoleh kearahku dan menatap mataku.
Anjir!
Melihat aku yang terkejut karena ditatap balik
olehnya, gadis itu tersenyum dan sedikit menganggukkan kepala seperti sedang
menyapaku.
Akupun balas menganggukkan kepala.
Setelah itu, ia kembali fokus dengan ponselnya.
Tidak lama setelah kejadian itu, kereta pun tiba dan
aku segera masuk untuk duduk. Aku tidak ingin terlalu memikirkan peristiwa tadi
karena aku ingin cepat sampai rumah dan segera tidur.
“Ia tersenyum kepadaku...”
Tanpa sadar aku bergumam akan hal ini.
Saat aku sadar akan apa yang aku pikirkan, aku
mencubit tanganku agar tidak lanjut berpikir yang aneh-aneh lagi.
Sadarlah! Dia itu anak SMA tahu.
Tentu saja aku masih sadar akan norma sosial.
Maksudku, aku harus seaneh apa sampai-sampai memikirkan terus menerus anak SMA
yang baru saja kutemui tengah malam begini di stasiun kereta?
Bertemu anak SMA tengah malam...
Astaga, lebih aneh lagi kalau kupikir-pikir.
Tapi tidak mungkin kan dia terlibat dengan yang
aneh-aneh? Aku tahu beberapa tempat di Jakarta cukup menormalkan hal-hal yang
mungkin akan membuat orang luar Jakarta geleng-geleng kepala. Tapi, kalau
sampai melibatkan anak SMA...
Ah, tentu saja tidak mungkin.
Mungkin dia ada les tambahan sampai tengah malam... Ah
itu benar! Aku dengar cukup banyak juga anak-anak SMA jaman sekarang yang
berusaha masuk kampus impian sampai rela untuk les hingga larut malam.
Tapi, kenapa ia harus tersenyum kepadaku...
Apakah ada makna dibalik senyuman itu?
Sekali lagi, aku mencubit tanganku agar tidak
memikirkan gadis itu lebih lanjut.
Setibanya di rumah aku segera membaringkan diri di
kasur agar tidak memikirkan hal tadi lebih lanjut.
Suasana kamar cukup hening, tapi entah mengapa aku
tidak dapat langsung tidur.
Sial, aku terus memikirkan senyumannya.
*
Esok harinya seperti biasa aku kembali pulang larut
malam.
Kali ini entah mengapa dalam satu hari ada tiga orang
dari departemenku yang tidak masuk (baca: menghilang). Awalnya kami berniat
menunggu mereka sampai sore, tapi karena tidak kunjung datang jadinya kerjaan
mereka ditumpahkan kepadaku.
Minimal kasih two week notice lah...
Yah, intinya hari ini atasanku menjadikan aku tumbal
atas menghilangnya mereka.
Setelah menyelesaikan pekerjaan, aku langsung bergegas
untuk mengejar kereta sambungan arah Bogor terakhir di Manggarai.
Ketika aku sedang berpindah peron di Manggarai,
tiba-tiba aku teringat dengan kejadian kemarin.
Kira-kira dia ada di sana gak ya?
Astaga, apa yang aku harapkan. Sudahlah, mungkin itu
hanya kejadian sekali seumur hidup saja.
Aku harus buru-buru kembali bekerja besok agar bisa
mengalihkan pikiran aneh ini.
Mas-mas kantoran berharap ketemu anak SMA pas pulang
larut malam? Wah kalau orang lain tahu pemikiran ini, bisa kena amuk masa aku.
Yah, intinya kejadian kemarin tidak mungkin terjadi
lagi—
Eh??
Ketika aku tiba di peron arah Bogor, aku melihatnya.
Gadis SMA yang kemarin, dengan gaya rambut dan perawakan yang sama, mengenakan earphone
di telinganya sembari melihat sesuatu di ponselnya.
Tapi ada yang berbeda darinya, hari ini dia mengenakan
seragam batik.
Apa karena hari ini hari Rabu? Kudengar banyak sekolah
yang mewajibkan batik di hari Rabu.
Ah, apa sih yang kupikirkan. Lagi-lagi fokusku
teralihkan dengan gadis itu. Lebih baik aku pura-pura tidak tahu dan
menyibukkan diriku dengan hal lain.
Aku pun menyalakan layar ponsel dan membuka aplikasi
yang berisi agenda pekerjaan kantor.
Karena pekerjaanku, aku terpaksa harus memiliki
aplikasi ini untuk selalu mengurusi jadwal kegiatan serta tenggat waktu untuk
tiap proyek.
Mungkin karena isi agenda ini berkaitan dengan
pekerjaanku, aku menemukan ada beberapa agenda yang kelihatannya terlalu
sebentar, terlalu lama, atau bahkan bertabrakan.
Mengetahui hal ini, aku segera membuka aplikasi
catatan untuk menulis agenda apa saja yang harus diubah agar besok aku tinggal
melaporkannya kepada atasan.
“Wih, beneran ada.”
“Astaga—!”
Aku kaget karena tiba-tiba ada orang yang berbicara di
sebelahku. Saat aku melihat kesebelah, aku menyadari siapa sumber suara
tersebut.
Hah? Ngapain gadis itu disini??
Gadis itu melihat kearah layar ponselku. Ia terlihat
seperti agak kebingungan dengan apa yang ada di situ. Aku langsung mematikan
layar dan menyimpannya di sakuku.
Lalu, gadis itu menoleh ke arahku.
“Halo Om. Kita ketemu lagi.” Sapa ia sambil tersenyum
ke arahku.
“I-Iya, kita ketemu lagi...”
Sial, canggung sekali!
Apa-apaan ini. Padahal kemarin baru saling berbalas
senyum, tiba-tiba dia datang dan menyapaku langsung. Apa anak SMA sekarang
semua seberani itu?
“Hmm?”
Gadis itu memiringkan kepalanya sembari tetap melihat
wajahku, seakan bingung dengan sesuatu.
“Uh... Ada yang salah?”
“Wah ternyata beneran ya...”
Hah?
“Erm... Maksudnya apa ya?”
“Hm hm, ternyata Om beneran ada.”
Apaan sih??
Aku benar-benar bingung dengan maksud perkataannya.
‘Beneran ada’? Ya ada lah. Kau kira aku ini hantu atau bagaimana? Apa jangan-jangan
kemarin kau mengira kalau aku ini adalah penampakan atau semacamnya.
“M-Maksudnya??”
Dia tidak menjawab dan masih memperhatikanku.
Tiba-tiba muncul senyuman di wajahnya.
“Rahasia.”
Aku semakin bingung.
“Intinya, Om gak usah terlalu mikirin yang tadi aku
bilang.”
Sepertinya kebingunganku tampak di wajahku, jadinya ia
berkata seperti itu.
Tidak lama, kereta datang. Seperti kemarin, gadis itu
menunduk sedikit sambil tersenyum kearahku, lalu berjalan menuju gerbong khusus
wanita.
Tentu saja karena aku adalah warga negara yang baik
dan masih taat dengan norma sosial, aku tidak mengikutinya dan memasuki gerbong
biasa untuk segera duduk.
Lagi-lagi, aku memikirkan tentang gadis itu.
Tapi, senyuman tadi itu...
Entah mengapa, ketika ia tersenyum tadi, aku merasa
seperti ada banyak rahasia dibaliknya.
Seperti sesuatu yang aku—seorang pekerja kantoran
biasa—tidak akan pernah bisa mengerti.
Apakah ini yang disebut sebagai misteri gadis SMA?
*
Keesokannya, aku akhirnya dapat pulang kerja dengan
normal. Iya, mungkin kalian berpikir bahwa pulang di rush hour,
berdesak-desakan di kereta, berlari-larian di Manggarai untuk mengejar transit
adalah hal yang cukup menyiksa.
Tapi aku tegaskan, TIDAK!
Mengapa begitu? Karena, bisa pulang kerja sebelum hari
menjadi gelap—terutama di Jakarta—adalah suatu berkah tersendiri.
Bisa kubilang, harus berdesak-desakan di kereta dan
berlari-lari di stasiun adalah harga yang murah untuk bisa pulang sebelum
gelap.
Yah, walaupun dengan berdesak-desakan seperti ini aku
harus lebih waspada dengan barang bawaanku.
“Stasiun berikutnya, Manggarai. Bagi para penumpang
yang akan transit...”
Ah, rupanya aku sudah tiba di Manggarai.
Aku melihat beberapa orang mulai bergeser ke dekat
pintu kereta. Biasanya para penglaju rush hour—terutama yang pulang
kearah Bogor—sudah bersiap-siap untuk berlari ke peron atas[1] .
Kereta pun berhenti.
Baiklah, ini dia...
Orang-orang disekitarku mulai bersiap-siap. Mereka
yang awalnya memegang ponsel, sekarang memasukkannya kedalam saku atau tas. Yang
tadinya sedang mengobrol, sekarang mulai diam dan bersiap untuk keluar kereta.
Begitulah suasana rush hour di perkotaan
Jakarta ini.
“Pintu akan dibuka.”
3... 2... 1...
Pintu kereta terbuka.
Aku dan para penumpang lain langsung bergerak dengan
cepat menuju peron atas. Dari kejauhan aku dapat mendengar para petugas
keamanan menyerukan agar para penumpang untuk berhati-hati.
Peduli apa kami dengan hal teriakkan para petugas itu kalau
rumah kami hanya tinggal satu kereta lagi.
Setibanya di peron arah Bogor, rupanya sudah ada
kereta yang menunggu. Aku langsung berlari masuk dan ikut berhimpitan dengan
penumpang yang sudah terlebih dahulu naik.
Kereta pun berangkat.
Aku langsung menghela nafas, karena pada akhirnya
tidak perlu lagi memikirkan untuk berpindah kereta dan hanya tinggal menunggu
sampai tiba di tujuanku.
Walaupun ramai, aku merasa kereta ini tidak separah
kereta sebelumnya. Mungkin karena tidak semua orang lanjut pulang ke arah Bogor
(karena ada juga mereka yang pulang ke Bekasi).
Ada beberapa penumpang yang kulihat satu kereta
denganku tadi, ada pula penumpang-penumpang baru seperti beberapa anak SMA...
Ah iya, anak SMA kan normalnya pulang jam segini.
Kira-kira gadis itu sudah pulang belum ya...?
—Apaan sih yang kupikirkan??
Ya Tuhan, lagi-lagi aku memikirkan hal yang seharusnya
tidak aku pikirkan. Kalau misalnya dia tahu aku tiba-tiba memikirkannya hanya
karena melihat anak SMA lain, aku bisa terbayang dia akan menatapku dengan
jijik.
Eh tunggu, bukankah bila aku memikirkan wajahnya yang
menatapku dengan jijik, malah makin parah?
Sial, kepalaku benar-benar dipenuhi oleh dia.
Saat aku sedang melakukan pertempuran batin, tiba-tiba
saja...
Eh?
Gaya rambut panjang se-bahu yang biasa dan dibiarkan
begitu saja menujukkan tipikal gadis SMA pada umumnya, ekspresi yang tidak
menunjukkan adanya hal spesial, dan sepasang earphone di telinganya yang
terhubung dengan kabel ke ponselnya.
Gadis SMA itu lewat begitu saja di depanku.
Tanpa sadar, aku seperti berusaha memanggilnya.
“...!”
Ah benar, aku tidak pernah tahu namanya siapa...
Tapi, tunggu dulu...
Setelah kuperhatikan lagi, rupanya itu bukan dia.
Wajahnya berbeda dan tas yang ia gunakan juga memiliki model yang berbeda.
Sayang sekali...
Eh? Kenapa aku kecewa?
Astaga, sepertinya ada yang salah dengan kepalaku.
Lagi-lagi aku berharap untuk bertemu dengannya.
Semuanya benar-benar tidak beres semenjak gadis itu
tersenyum kepadaku. Karena pikiran aneh itu, aku jadi harus bekerja lebih keras
dibanding biasanya hanya untuk mengalihkan pikiran. Walau begitu, setiap kali
aku sedang melamun, ujung-ujungnya aku tetap memikirkan senyumannya.
Aku rasa, isi kepalaku sudah teracuni oleh gadis SMA
itu...
*
Hari pun berganti. Pekerjaanku kali ini cukup berbeda
dibanding biasanya. Apabila sebelumnya aku hanya bekerja di dalam kantor saja,
sekarang aku harus berpindah-pindah tempat berkeliling Jakarta untuk menghadiri
rapat dari banyak pihak.
Jujur aku tidak mengerti soal ketertarikan orang-orang
korporat ini terhadap rapat di tempat yang jauh dari kantor. Maksudku,
sebenarnya perusahaan-perusahaan ini merupakan anak perusahaan atau masih satu
grup perusahaan dengan tempat aku bekerja. Tapi entah mengapa mereka memilih
tempat ruang rapat khusus di sebuah restoran, atau sebuah kafe mahal yang aku
tahu tidak akan pernah datang ke sana kalau bukan untuk urusan kerja.
Akhirnya hari pun mulai gelap. Entah mengapa rapat
terakhir menjadi rapat yang paling lama yang pernah aku hadiri. Lagi-lagi aku
harus pulang menaiki kereta terakhir dari Manggarai.
“Ah... Aku lelah sekali...”
Saat berjalan menuju ke peron arah Bogor, aku sudah
tidak ada tenaga lagi untuk memikirkan hal lain. Aku benar-benar lelah, bahkan
kalau di stasiun diperbolehkan untuk tiduran di peron, aku akan langsung
berbaring sekarang juga.
Setibanya di peron, aku tidak melihat ke arah jadwal
kereta maupun sekitarku. Yang aku perhatikan sekarang hanyalah sebuah bangku
tunggu prioritas yang terletak tidak jauh dari tangga.
Aku pun langsung berjalan ke sana dan duduk.
Sedikit informasi, sebenarnya boleh-boleh saja bagi
orang biasa untuk duduk di bangku prioritas. Asalkan disaat itu tidak ada
orang-orang yang masuk ke dalam kategori prioritas.
Intinya, karena aku tahu paling tidak hanya aku dan
beberapa orang random lainnya yang ada di peron itu, jadi aku tidak perlu merasa
bersalah karena sudah duduk di bangku ini.
Setelah aku duduk, aku hanya dapat menundukkan kepala.
Saat ini yang ada dipikiranku hanyalah untuk segera sampai di rumah, lalu
menempatkan kepalaku di bantal kasurku yang empuk.
Entah berapa lama aku membayangkan bantal di kamarku
dan kelembutannya, lama kelamaan aku dapat merasakan kesadaranku menghilang.
Pandanganku mulai gelap. Hingga akhirnya...
Tunggu dulu, ada apa ini?
Walaupun hampir kehilangan kesadaran, tiba-tiba aku
merasakan pundakku disentuh oleh sesuatu.
Benda tajam? Tidak, ini lebih terasa seperti... jari
seseorang.
Perlahan aku merasakan jari tersebut bergerak-gerak di
pundakku. Jari mulai itu bergerak ke atas, menyusuri sekujur tulang belakangku.
“...!”
Karena aku orangnya gelian, aku langsung terbangun,
merasakan jari seseorang hampir menyentuh kulit tengkuk ku.
“Astaga... Apa-apaan sih—!”
Ketika aku akan berteriak kepada siapapun yang
mengganggu, aku langsung terdiam saat melihat orang yang ternyata dari tadi
memainkan jari jemarinya di pundakku.
Gadis SMA itu hanya melihatku sambil tersenyum.
Senyuman itu lagi.
Entah bagaimana caranya, tiba-tiba saja gadis SMA yang
aku temui beberapa kali belakangan sekarang duduk di sebelahku dan memainkan
jari jemarinya di pundakku.
“Udah bangun, Om?”
“I-Iya. Maaf tadi aku hampir membentakmu.”
Aku langsung menjaga jarak darinya. Dia pun juga
sepertinya sadar kalau tadi posisi kami berdua cukup dekat, karena itu ia juga melakukan
hal yang sama.
“Eh, gak apa-apa kok Om. Maaf tadi malah kesannya aku
ngeganggu, pasti Om juga lagi capek banget ya?”
Bayangkan, aku secapek itu sampai-sampai harus
dikhawatirkan oleh seorang anak SMA. Yah, cukup menyedihkan.
Tapi, yang lebih menyedihkannya lagi adalah aku merasa
senang diperhatikan seperti ini.
Aku sudah jatuh terlalu jauh.
Aku benar-benar
ingin segera pulang dan berbaring. Kakiku juga cukup pegal karena harus
berjalan kesana dan kemari.
“Om...?”
Mau sampai kapan gadis ini duduk di sebelahku? Maaf
saja, mungkin tadi aku bilang aku sedikit senang di khawatirkan oleh anak ini.
Tapi, tetap saja aku terlalu capek untuk menanggapi dia.
“Om? Om Randi? Ketiduran kah?”
Ya ampun, aku hanya berusaha untuk memejamkan mata
sebentar saja. Mau sampai kapan ia...
Eh, tunggu sebentar!
“T-Tadi kamu manggil aku dengan apa?”
“Dengan, ‘Om’?”
“Enggak, maksudnya habis itu.”
“Om Randi?”
Gimana dia bisa tahu namaku??
“Uh... Sebentar, kamu tau namaku dari mana?”
Tanpa berkata apapun, anak itu menunjuk ke arah
dadaku. Saat aku lihat, rupanya tanda pengenal perusahaan—yang wajib dipakai
karena aku bertemu dengan banyak orang dari perusahaan berbeda—masih terpasang.
Tepok jidad!
“Baiklah, kamu menang. Sekarang kamu tahu namaku.”
Astaga, seceroboh apa aku sampai-sampai informasi
pribadi seperti nama dapat diketahui oleh orang asing. Untungnya yang duduk di
sebelahku adalah gadis ini, bukan orang dari perusahaan pinjol yang
dapat sesukanya memasukkan namaku ke dalam data mereka dan... Eh tunggu dulu,
belum tentu anak ini tidak akan menggunakan namaku untuk pinjol kan?
Yah, intinya aku hanya dapat berharap anak ini tidak
akan melakukan hal yang aneh-aneh dengan namaku.
“...”
Anak itu hanya terdiam menatap wajahku. Ada apa?
Apakah wajahku ketika kelelahan seaneh itu sampai-sampai kau merasa heran? Aku
juga bisa capek tahu.
“Ga mau nanya balik, Om?”
“Maksudnya?”
“Maksudku... Aku kan sudah mengetahui nama Om. Mungkin
saja Om ingin tahu juga namaku...”
Ah, jadi itu maksudnya.
Entahlah, aku tidak terlalu tertarik juga dengan nama
dari anak ini. Kalau aku niat, bisa saja aku tanya namanya dan kulaporkan ke
polisi karena sudah menggodaku di tempat umum... Mungkin itu terlalu kejam. Ya
intinya aku terlalu lelah untuk memedulikan hal seperti itu.
“Tidak perlu. Aku terlalu capek untuk peduli hal kayak
gitu.”
“Ah, begitu ya...”
Wajahnya yang sedari tadi menunjukkan senyuman,
tiba-tiba menjadi seperti penuh kekecewaan.
Ayolah, jangan menampilkan ekspresi seperti itu. Aku
jadi tidak enak kalau kamu kayak gitu.
Mungkin ucapanku tadi agak kasar.
“Baiklah, jangan murung begitu. Nih aku tanya, siapa
nama kamu?”
Tiba-tiba wajah gadis itu kembali tersenyum seperti
bersemangat.
Cepat sekali!
Tapi, bukannya menjawab, ia malah tersenyum.
“Rahasia.”
Ya Tuhan...
“Iya deh, terserah kamu.”
“Hehe.”
Entah kenapa, ia terlihat senang karena berhasil
membuat aku penasaran. Ayolah, aku tahu usiamu masih di bawah usia legal dan
masih mendapat perlindungan hukum. Tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya
menggoda atau menjahili orang dewasa.
“Tapi Om, kalau misalnya emang capek banget, kenapa
enggak coba cari pekerjaan yang lebih ringan?”
“Maksud kamu?”
“Kan kalo menurutku, Om itu kecapekan mungkin karena
pekerjaan yang sekarang gak sesuai passion atau kesukaannya Om sendiri.
Makanya terasa melelahkan.”
Passion...
Mendengar beberapa kata yang sudah lama tidak aku
dengar, aku berusaha memperbaiki postur tubuhku, lalu menghadap ke arahnya.
Ya, andaikan aku masih punya semua idealisme itu.
“Begitu ya. Memangnya, kamu sendiri nanti kalau udah
besar mau kerja jadi apa?”
Gadis itu memikirkan sesuatu.
“Hm... Kalau aku sih mau jadi mau jadi desainer baju.
Membuat desain bajuku sendiri, dan melihatnya dipakai banyak orang.”
Wah, idealisme anak SMA memang beda banget.
“Ya ampun, aku berharap masih memiliki idealisme yang
sama kayak kamu. Gini ya, kalau nanti kamu udah dewasa—“
Tunggu dulu. Apa ini hal yang pantas untuk aku
bicarakan dihadapan dia? Padahal tadi saat dia menjelaskan tentang mimpi
pekerjaannya, wajahnya penuh kesenangan dan harapan.
Apakah aku akan menjadi orang dewasa yang jahat yang
akan menghancurkan harapan seorang gadis SMA begitu saja?
Aku pun tidak jadi melanjutkan perkataanku tadi.
“—Ah, lupakah saja.”
“Eh?”
Wajah gadis itu terlihat bingung, dan sepertinya ia
tidak akan puas sampai aku beri penjelasan mengenai apa yang tadi akan aku
ucapkan.
“Begini, tadi aku berniat untuk mengatakan bahwa saat
nanti kamu dewasa, kamu udah enggak bisa lagi terus-terusan memegang ideal dan
mimpimu itu. Tapi aku tidak jadi melanjutkannya karena menurutku, untuk apa aku
menegasikan mimpi seorang gadis SMA? Bukankah itu terlalu jahat?”
Banyak sekali diluar sana orang dewasa yang entah
mengapa setiap kali melihat anak sekolah menampilkan atau memberitahu tentang
mimpi dan idealisme mereka, langsung mematahkan dan dengan gamblang mengatakan
bahwa itu tidak akan pernah terjadi.
Perkataan seperti ‘ah nanti kamu juga bakal sadar’,
‘nanti kamu juga tahu sendiri’, ‘terlalu idealis kamu’, semuanya memang
terkesan untuk membangunkan orang-orang yang sedang bermimpi akan idealis
mereka untuk kembali ke realita.
Namun, orang-orang dewasa sepertiku malah
mengarahkannya kepada anak SMA.
Memang, akan sedikit menyebalkan mendengarkan anak SMA
terlalu banyak bermimpi dan beridealis. Tapi ya itulah mereka, anak SMA. Mereka
memang sedang dalam masa dimana semua hal yang ada di dunia ini terasa mungkin
untuk dicapai.
Dan menurutku, itu bukanlah hal yang salah. Biarkan
saja mereka yang menyadarinya sendiri. Kalau misalnya ternyata mereka
benar-benar berhasil menggapai mimpi, ya bagus lah. Sudah tugas kita sebagai
orang dewasa untuk bangga atas hal seperti itu, menyadari bahwa generasi
setelah kita dapat lebih baik. Namun, kalau memang akhirnya mereka tertampar
realita, ya biarlah realita itu sendiri yang menjadi guru mereka.
“Intinya, aku tidak ingin menghalang-halangi kalian,
para anak SMA untuk bermimpi dan berusaha meraihnya. Aku hanya ingin kalian
belajar sendiri bagaimana rasanya mempunyai impian. bekerja keras untuk menggapainya,
atau bahkan dikhianati oleh usaha kalian sendiri. Mungkin saja, berharap bahwa
generasi setelahku bisa lebih baik daripada aku adalah ideal terakhir yang
masih aku pegang hingga sekarang.”
Astaga, apa yang aku bicarakan coba dengan anak SMA
ini.
“Ah, maaf kalau kamu enggak ngerti dengan apa yang aku
bicarakan—“
"...ternyata Om memang orang baik.”
“Huh?”
Apa aku tidak salah dengar?
Aku bisa melihat mulutnya tersenyum kecil.
“Tidak ada apa-apa. Ah, lihat keretanya akan segera
datang.”
Kereta pun tiba di hadapan kami.
Sebelum pintunya terbuka, tiba-tiba saja gadis itu
menanyakan sesuatu.
“Om... Beneran gak inget apa-apa?”
Sebelum aku sempat balik bertanya, ia sudah lebih dulu
berjalan ke arah gerbong khusus wanita.
Pintu kereta terbuka, aku masuk ke dalam gerbong tanpa mengetahui apakah anak itu juga sudah masuk atau belum.
Karena sangat lelah, aku pun mengizinkan diriku untuk segera duduk di bangku kereta dan memejamkan mata sambil berharap agar dapat terbangun saat tiba di Depok.
Pertanyaan tadi masih tertanam di kepalaku.
Ingat? Apa yang harus kuingat?
Aku benar-benar tidak paham dengan banyak hal yang ia
katakan dari tadi. Apakah dia sengaja melakukan hal seperti itu hanya karena
ingin iseng denganku?
Sudahlah, aku terlalu lelah untuk memikirkan sisanya.
Lagi-lagi, aku terjebak di pusaran rahasia seorang
gadis SMA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar