Jumat, 17 Mei 2024

Gadis SMA dan Rahasianya - Chapter 1

Jam menunjukkan pukul 11 malam lebih 20 menit. Suasana Stasiun Manggarai yang terkenal selalu ramai karena stasiun transit terlihat cukup sepi. Bila biasanya di jam berangkat kerja ataupun tengah hari selalu terlihat hiruk pikuk manusia yang bergegas mencari kereta sambungan, saat ini suasananya tidak jauh berbeda dengan stasiun-stasiun kosong lainnya.

Memang cukup mengesalkan fakta bahwa aku ada di sini dan harus merasakan kekosongan Manggarai. Bukannya aku tidak mensyukuri stasiun yang kosong dan tidak perlu bersinggungan dengan banyak orang, tapi biasanya kereta jam segini muncul hanya satu jam sekali.

Untungnya aku tiba pada waktu yang tepat untuk menaiki kereta terakhir.

Kantorku berada di distrik bisnis yang ada di sekitar Sudirman. Karena itu setelah menjalani rapat  yang sebenarnya dapat dilakukan besok—entah mengapa atasanku bersikeras untuk melakukannya malam hari—aku langsung berlari menuju Stasiun Sudirman dan naik kereta ke arah Manggarai. Untung saja aku sempat untuk mengejar kereta ke arah Bogor.

Rumahku ada di sekitar daerah Depok—sangat disayangkan memang—jadi walaupun malam ini aku bisa merasa tenang di Manggarai, esok pagi aku harus siap kembali berdesak-desakan di stasiun ini.

Aku hanya dapat menghela nafas mengetahui semua itu.

Sembari menunggu kereta, aku iseng melihat ke sekitar. Kulihat ada seorang ibu-ibu yang membawa tas jinjing besar, seorang pak tua yang duduk sambil merunduk di bangku tunggu prioritas, dan beberapa petugas penjaga stasiun.

Ketika aku melihat ke sisi lain peron, aku terkejut karena menemukan pemandangan yang tidak biasa di stasiun ini ketika malam hari. Karena aku sudah cukup sering pulang larut seperti ini, aku lumayan familiar dengan pemandangan stasiun kereta mendekati tengah malam. Tapi baru pertama kali ini aku melihat ‘anomali’ dari lingkungan sekitar.

Maksudku, siapa juga yang mengira akan bertemu seorang gadis SMA dengan seragam putih abu nya ikut menunggu dengan angkatan pulang telat tengah malam?

Apakah anak jaman sekarang memang begitu?

Mereka terbiasa dengan yang namanya bermain di luar sampai larut dan kembali bersekolah seperti biasa saat pagi, begitu kah?

Yah, antara dulu aku tidak pernah begitu jadinya aku tidak sadar, atau pola pikirku yang memang menjadi lebih kolot.

Tapi bila kuperhatikan, gadis SMA itu tidak terlihat seperti tipikal anak cewek yang biasa bermain sampai larut atau suka hang out kemana-mana. Maksudku, ia tidak mengenakan make up yang mencolok (Anak SMA sekarang suka seperti itu kan?), gaya rambut panjang se-bahu yang biasa dan dibiarkan begitu saja menujukkan tipikal gadis SMA pada umumnya, tidak mengenakan jaket atau luaran seragam yang bermerek populer di kalangan anak muda, bahkan aku tidak melihat aksesoris-aksesoris lucu yang biasa kulihat digunakan oleh gadis SMA lainnya—aku tahu karena sering naik kereta dan disana banyak anak SMA, jadi jangan berpikir aneh-aneh.

Ekspresinya pun juga tidak menunjukkan hal yang spesial. Sepertinya ia sedang fokus melihat atau membaca sesuatu pada ponselnya... atau mungkin dia sedang menonton atau mendengarkan sesuatu, karena di telinganya terlihat sepasang earphone yang terhubung dengan kabel ke ponselnya.

Wah rupanya masih ada anak SMA yang menggunakan earphone berkabel.

Kukira anak muda sekarang sudah tidak mengenal earphone berkabel.

Entah berapa lama aku memperhatikan dia, tiba-tiba saja ia menoleh kearahku dan menatap mataku.

Anjir!

Melihat aku yang terkejut karena ditatap balik olehnya, gadis itu tersenyum dan sedikit menganggukkan kepala seperti sedang menyapaku.

Akupun balas menganggukkan kepala.

Setelah itu, ia kembali fokus dengan ponselnya.

Tidak lama setelah kejadian itu, kereta pun tiba dan aku segera masuk untuk duduk. Aku tidak ingin terlalu memikirkan peristiwa tadi karena aku ingin cepat sampai rumah dan segera tidur.

“Ia tersenyum kepadaku...”

Tanpa sadar aku bergumam akan hal ini.

Saat aku sadar akan apa yang aku pikirkan, aku mencubit tanganku agar tidak lanjut berpikir yang aneh-aneh lagi.

Sadarlah! Dia itu anak SMA tahu.

Tentu saja aku masih sadar akan norma sosial. Maksudku, aku harus seaneh apa sampai-sampai memikirkan terus menerus anak SMA yang baru saja kutemui tengah malam begini di stasiun kereta?

Bertemu anak SMA tengah malam...

Astaga, lebih aneh lagi kalau kupikir-pikir.

Tapi tidak mungkin kan dia terlibat dengan yang aneh-aneh? Aku tahu beberapa tempat di Jakarta cukup menormalkan hal-hal yang mungkin akan membuat orang luar Jakarta geleng-geleng kepala. Tapi, kalau sampai melibatkan anak SMA...

Ah, tentu saja tidak mungkin.

Mungkin dia ada les tambahan sampai tengah malam... Ah itu benar! Aku dengar cukup banyak juga anak-anak SMA jaman sekarang yang berusaha masuk kampus impian sampai rela untuk les hingga larut malam.

Tapi, kenapa ia harus tersenyum kepadaku...

Apakah ada makna dibalik senyuman itu?

Sekali lagi, aku mencubit tanganku agar tidak memikirkan gadis itu lebih lanjut.

Setibanya di rumah aku segera membaringkan diri di kasur agar tidak memikirkan hal tadi lebih lanjut.

Suasana kamar cukup hening, tapi entah mengapa aku tidak dapat langsung tidur.

Sial, aku terus memikirkan senyumannya.

 

*


Esok harinya seperti biasa aku kembali pulang larut malam.

Kali ini entah mengapa dalam satu hari ada tiga orang dari departemenku yang tidak masuk (baca: menghilang). Awalnya kami berniat menunggu mereka sampai sore, tapi karena tidak kunjung datang jadinya kerjaan mereka ditumpahkan kepadaku.

Minimal kasih two week notice lah...

Yah, intinya hari ini atasanku menjadikan aku tumbal atas menghilangnya mereka.

Setelah menyelesaikan pekerjaan, aku langsung bergegas untuk mengejar kereta sambungan arah Bogor terakhir di Manggarai.

Ketika aku sedang berpindah peron di Manggarai, tiba-tiba aku teringat dengan kejadian kemarin.

Kira-kira dia ada di sana gak ya?

Astaga, apa yang aku harapkan. Sudahlah, mungkin itu hanya kejadian sekali seumur hidup saja.

Aku harus buru-buru kembali bekerja besok agar bisa mengalihkan pikiran aneh ini.

Mas-mas kantoran berharap ketemu anak SMA pas pulang larut malam? Wah kalau orang lain tahu pemikiran ini, bisa kena amuk masa aku.

Yah, intinya kejadian kemarin tidak mungkin terjadi lagi—

Eh??

Ketika aku tiba di peron arah Bogor, aku melihatnya. Gadis SMA yang kemarin, dengan gaya rambut dan perawakan yang sama, mengenakan earphone di telinganya sembari melihat sesuatu di ponselnya.

Tapi ada yang berbeda darinya, hari ini dia mengenakan seragam batik.

Apa karena hari ini hari Rabu? Kudengar banyak sekolah yang mewajibkan batik di hari Rabu.

Ah, apa sih yang kupikirkan. Lagi-lagi fokusku teralihkan dengan gadis itu. Lebih baik aku pura-pura tidak tahu dan menyibukkan diriku dengan hal lain.

Aku pun menyalakan layar ponsel dan membuka aplikasi yang berisi agenda pekerjaan kantor.

Karena pekerjaanku, aku terpaksa harus memiliki aplikasi ini untuk selalu mengurusi jadwal kegiatan serta tenggat waktu untuk tiap proyek.

Mungkin karena isi agenda ini berkaitan dengan pekerjaanku, aku menemukan ada beberapa agenda yang kelihatannya terlalu sebentar, terlalu lama, atau bahkan bertabrakan.

Mengetahui hal ini, aku segera membuka aplikasi catatan untuk menulis agenda apa saja yang harus diubah agar besok aku tinggal melaporkannya kepada atasan.

“Wih, beneran ada.”

“Astaga—!”

Aku kaget karena tiba-tiba ada orang yang berbicara di sebelahku. Saat aku melihat kesebelah, aku menyadari siapa sumber suara tersebut.

Hah? Ngapain gadis itu disini??

Gadis itu melihat kearah layar ponselku. Ia terlihat seperti agak kebingungan dengan apa yang ada di situ. Aku langsung mematikan layar dan menyimpannya di sakuku.

Lalu, gadis itu menoleh ke arahku.

“Halo Om. Kita ketemu lagi.” Sapa ia sambil tersenyum ke arahku.

“I-Iya, kita ketemu lagi...”

Sial, canggung sekali!

Apa-apaan ini. Padahal kemarin baru saling berbalas senyum, tiba-tiba dia datang dan menyapaku langsung. Apa anak SMA sekarang semua seberani itu?

“Hmm?”

Gadis itu memiringkan kepalanya sembari tetap melihat wajahku, seakan bingung dengan sesuatu.

“Uh... Ada yang salah?”

“Wah ternyata beneran ya...”

Hah?

“Erm... Maksudnya apa ya?”

“Hm hm, ternyata Om beneran ada.”

Apaan sih??

Aku benar-benar bingung dengan maksud perkataannya. ‘Beneran ada’? Ya ada lah. Kau kira aku ini hantu atau bagaimana? Apa jangan-jangan kemarin kau mengira kalau aku ini adalah penampakan atau semacamnya.

“M-Maksudnya??”

Dia tidak menjawab dan masih memperhatikanku.

Tiba-tiba muncul senyuman di wajahnya.

“Rahasia.”

Aku semakin bingung.

“Intinya, Om gak usah terlalu mikirin yang tadi aku bilang.”

Sepertinya kebingunganku tampak di wajahku, jadinya ia berkata seperti itu.

Tidak lama, kereta datang. Seperti kemarin, gadis itu menunduk sedikit sambil tersenyum kearahku, lalu berjalan menuju gerbong khusus wanita.

Tentu saja karena aku adalah warga negara yang baik dan masih taat dengan norma sosial, aku tidak mengikutinya dan memasuki gerbong biasa untuk segera duduk.

Lagi-lagi, aku memikirkan tentang gadis itu.

Tapi, senyuman tadi itu...

Entah mengapa, ketika ia tersenyum tadi, aku merasa seperti ada banyak rahasia dibaliknya.

Seperti sesuatu yang aku—seorang pekerja kantoran biasa—tidak akan pernah bisa mengerti.

Apakah ini yang disebut sebagai misteri gadis SMA?

 

*


Keesokannya, aku akhirnya dapat pulang kerja dengan normal. Iya, mungkin kalian berpikir bahwa pulang di rush hour, berdesak-desakan di kereta, berlari-larian di Manggarai untuk mengejar transit adalah hal yang cukup menyiksa.

Tapi aku tegaskan, TIDAK!

Mengapa begitu? Karena, bisa pulang kerja sebelum hari menjadi gelap—terutama di Jakarta—adalah suatu berkah tersendiri.

Bisa kubilang, harus berdesak-desakan di kereta dan berlari-lari di stasiun adalah harga yang murah untuk bisa pulang sebelum gelap.

Yah, walaupun dengan berdesak-desakan seperti ini aku harus lebih waspada dengan barang bawaanku.

“Stasiun berikutnya, Manggarai. Bagi para penumpang yang akan transit...”

Ah, rupanya aku sudah tiba di Manggarai.

Aku melihat beberapa orang mulai bergeser ke dekat pintu kereta. Biasanya para penglaju rush hour—terutama yang pulang kearah Bogor—sudah bersiap-siap untuk berlari ke peron atas[1] .

Kereta pun berhenti.

Baiklah, ini dia...

Orang-orang disekitarku mulai bersiap-siap. Mereka yang awalnya memegang ponsel, sekarang memasukkannya kedalam saku atau tas. Yang tadinya sedang mengobrol, sekarang mulai diam dan bersiap untuk keluar kereta.

Begitulah suasana rush hour di perkotaan Jakarta ini.

“Pintu akan dibuka.”

3... 2... 1...

Pintu kereta terbuka.

Aku dan para penumpang lain langsung bergerak dengan cepat menuju peron atas. Dari kejauhan aku dapat mendengar para petugas keamanan menyerukan agar para penumpang untuk berhati-hati.

Peduli apa kami dengan hal teriakkan para petugas itu kalau rumah kami hanya tinggal satu kereta lagi.

Setibanya di peron arah Bogor, rupanya sudah ada kereta yang menunggu. Aku langsung berlari masuk dan ikut berhimpitan dengan penumpang yang sudah terlebih dahulu naik.

Kereta pun berangkat.

Aku langsung menghela nafas, karena pada akhirnya tidak perlu lagi memikirkan untuk berpindah kereta dan hanya tinggal menunggu sampai tiba di tujuanku.

Walaupun ramai, aku merasa kereta ini tidak separah kereta sebelumnya. Mungkin karena tidak semua orang lanjut pulang ke arah Bogor (karena ada juga mereka yang pulang ke Bekasi).

Ada beberapa penumpang yang kulihat satu kereta denganku tadi, ada pula penumpang-penumpang baru seperti beberapa anak SMA...

Ah iya, anak SMA kan normalnya pulang jam segini. Kira-kira gadis itu sudah pulang belum ya...?

—Apaan sih yang kupikirkan??

Ya Tuhan, lagi-lagi aku memikirkan hal yang seharusnya tidak aku pikirkan. Kalau misalnya dia tahu aku tiba-tiba memikirkannya hanya karena melihat anak SMA lain, aku bisa terbayang dia akan menatapku dengan jijik.

Eh tunggu, bukankah bila aku memikirkan wajahnya yang menatapku dengan jijik, malah makin parah?

Sial, kepalaku benar-benar dipenuhi oleh dia.

Saat aku sedang melakukan pertempuran batin, tiba-tiba saja...

Eh?

Gaya rambut panjang se-bahu yang biasa dan dibiarkan begitu saja menujukkan tipikal gadis SMA pada umumnya, ekspresi yang tidak menunjukkan adanya hal spesial, dan sepasang earphone di telinganya yang terhubung dengan kabel ke ponselnya.

Gadis SMA itu lewat begitu saja di depanku.

Tanpa sadar, aku seperti berusaha memanggilnya.

“...!”

Ah benar, aku tidak pernah tahu namanya siapa...

Tapi, tunggu dulu...

Setelah kuperhatikan lagi, rupanya itu bukan dia. Wajahnya berbeda dan tas yang ia gunakan juga memiliki model yang berbeda.

Sayang sekali...

Eh? Kenapa aku kecewa?

Astaga, sepertinya ada yang salah dengan kepalaku. Lagi-lagi aku berharap untuk bertemu dengannya.

Semuanya benar-benar tidak beres semenjak gadis itu tersenyum kepadaku. Karena pikiran aneh itu, aku jadi harus bekerja lebih keras dibanding biasanya hanya untuk mengalihkan pikiran. Walau begitu, setiap kali aku sedang melamun, ujung-ujungnya aku tetap memikirkan senyumannya.

Aku rasa, isi kepalaku sudah teracuni oleh gadis SMA itu...

 

*


Hari pun berganti. Pekerjaanku kali ini cukup berbeda dibanding biasanya. Apabila sebelumnya aku hanya bekerja di dalam kantor saja, sekarang aku harus berpindah-pindah tempat berkeliling Jakarta untuk menghadiri rapat dari banyak pihak.

Jujur aku tidak mengerti soal ketertarikan orang-orang korporat ini terhadap rapat di tempat yang jauh dari kantor. Maksudku, sebenarnya perusahaan-perusahaan ini merupakan anak perusahaan atau masih satu grup perusahaan dengan tempat aku bekerja. Tapi entah mengapa mereka memilih tempat ruang rapat khusus di sebuah restoran, atau sebuah kafe mahal yang aku tahu tidak akan pernah datang ke sana kalau bukan untuk urusan kerja.

Akhirnya hari pun mulai gelap. Entah mengapa rapat terakhir menjadi rapat yang paling lama yang pernah aku hadiri. Lagi-lagi aku harus pulang menaiki kereta terakhir dari Manggarai.

“Ah... Aku lelah sekali...”

Saat berjalan menuju ke peron arah Bogor, aku sudah tidak ada tenaga lagi untuk memikirkan hal lain. Aku benar-benar lelah, bahkan kalau di stasiun diperbolehkan untuk tiduran di peron, aku akan langsung berbaring sekarang juga.

Setibanya di peron, aku tidak melihat ke arah jadwal kereta maupun sekitarku. Yang aku perhatikan sekarang hanyalah sebuah bangku tunggu prioritas yang terletak tidak jauh dari tangga.

Aku pun langsung berjalan ke sana dan duduk.

Sedikit informasi, sebenarnya boleh-boleh saja bagi orang biasa untuk duduk di bangku prioritas. Asalkan disaat itu tidak ada orang-orang yang masuk ke dalam kategori prioritas.

Intinya, karena aku tahu paling tidak hanya aku dan beberapa orang random lainnya yang ada di peron itu, jadi aku tidak perlu merasa bersalah karena sudah duduk di bangku ini.

Setelah aku duduk, aku hanya dapat menundukkan kepala. Saat ini yang ada dipikiranku hanyalah untuk segera sampai di rumah, lalu menempatkan kepalaku di bantal kasurku yang empuk.

Entah berapa lama aku membayangkan bantal di kamarku dan kelembutannya, lama kelamaan aku dapat merasakan kesadaranku menghilang.

Pandanganku mulai gelap. Hingga akhirnya...

Tunggu dulu, ada apa ini?

Walaupun hampir kehilangan kesadaran, tiba-tiba aku merasakan pundakku disentuh oleh sesuatu.

Benda tajam? Tidak, ini lebih terasa seperti... jari seseorang.

Perlahan aku merasakan jari tersebut bergerak-gerak di pundakku. Jari mulai itu bergerak ke atas, menyusuri sekujur tulang belakangku.

“...!”

Karena aku orangnya gelian, aku langsung terbangun, merasakan jari seseorang hampir menyentuh kulit tengkuk ku.

“Astaga... Apa-apaan sih—!”

Ketika aku akan berteriak kepada siapapun yang mengganggu, aku langsung terdiam saat melihat orang yang ternyata dari tadi memainkan jari jemarinya di pundakku.

Gadis SMA itu hanya melihatku sambil tersenyum.

Senyuman itu lagi.

Entah bagaimana caranya, tiba-tiba saja gadis SMA yang aku temui beberapa kali belakangan sekarang duduk di sebelahku dan memainkan jari jemarinya di pundakku.

“Udah bangun, Om?”

“I-Iya. Maaf tadi aku hampir membentakmu.”

Aku langsung menjaga jarak darinya. Dia pun juga sepertinya sadar kalau tadi posisi kami berdua cukup dekat, karena itu ia juga melakukan hal yang sama.

“Eh, gak apa-apa kok Om. Maaf tadi malah kesannya aku ngeganggu, pasti Om juga lagi capek banget ya?”

Bayangkan, aku secapek itu sampai-sampai harus dikhawatirkan oleh seorang anak SMA. Yah, cukup menyedihkan.

Tapi, yang lebih menyedihkannya lagi adalah aku merasa senang diperhatikan seperti ini.

Aku sudah jatuh terlalu jauh.

 Aku benar-benar ingin segera pulang dan berbaring. Kakiku juga cukup pegal karena harus berjalan kesana dan kemari.

“Om...?”

Mau sampai kapan gadis ini duduk di sebelahku? Maaf saja, mungkin tadi aku bilang aku sedikit senang di khawatirkan oleh anak ini. Tapi, tetap saja aku terlalu capek untuk menanggapi dia.

“Om? Om Randi? Ketiduran kah?”

Ya ampun, aku hanya berusaha untuk memejamkan mata sebentar saja. Mau sampai kapan ia...

Eh, tunggu sebentar!

“T-Tadi kamu manggil aku dengan apa?”

“Dengan, ‘Om’?”

“Enggak, maksudnya habis itu.”

“Om Randi?”

Gimana dia bisa tahu namaku??

“Uh... Sebentar, kamu tau namaku dari mana?”

Tanpa berkata apapun, anak itu menunjuk ke arah dadaku. Saat aku lihat, rupanya tanda pengenal perusahaan—yang wajib dipakai karena aku bertemu dengan banyak orang dari perusahaan berbeda—masih terpasang.

Tepok jidad!

“Baiklah, kamu menang. Sekarang kamu tahu namaku.”

Astaga, seceroboh apa aku sampai-sampai informasi pribadi seperti nama dapat diketahui oleh orang asing. Untungnya yang duduk di sebelahku adalah gadis ini, bukan orang dari perusahaan pinjol yang dapat sesukanya memasukkan namaku ke dalam data mereka dan... Eh tunggu dulu, belum tentu anak ini tidak akan menggunakan namaku untuk pinjol kan?

Yah, intinya aku hanya dapat berharap anak ini tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh dengan namaku.

“...”

Anak itu hanya terdiam menatap wajahku. Ada apa? Apakah wajahku ketika kelelahan seaneh itu sampai-sampai kau merasa heran? Aku juga bisa capek tahu.

“Ga mau nanya balik, Om?”

“Maksudnya?”

“Maksudku... Aku kan sudah mengetahui nama Om. Mungkin saja Om ingin tahu juga namaku...”

Ah, jadi itu maksudnya.

Entahlah, aku tidak terlalu tertarik juga dengan nama dari anak ini. Kalau aku niat, bisa saja aku tanya namanya dan kulaporkan ke polisi karena sudah menggodaku di tempat umum... Mungkin itu terlalu kejam. Ya intinya aku terlalu lelah untuk memedulikan hal seperti itu.

“Tidak perlu. Aku terlalu capek untuk peduli hal kayak gitu.”

“Ah, begitu ya...”

Wajahnya yang sedari tadi menunjukkan senyuman, tiba-tiba menjadi seperti penuh kekecewaan.

Ayolah, jangan menampilkan ekspresi seperti itu. Aku jadi tidak enak kalau kamu kayak gitu.

Mungkin ucapanku tadi agak kasar.

“Baiklah, jangan murung begitu. Nih aku tanya, siapa nama kamu?”

Tiba-tiba wajah gadis itu kembali tersenyum seperti bersemangat.

Cepat sekali!

Tapi, bukannya menjawab, ia malah tersenyum.

“Rahasia.”

Ya Tuhan...

“Iya deh, terserah kamu.”

“Hehe.”

Entah kenapa, ia terlihat senang karena berhasil membuat aku penasaran. Ayolah, aku tahu usiamu masih di bawah usia legal dan masih mendapat perlindungan hukum. Tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya menggoda atau menjahili orang dewasa.

“Tapi Om, kalau misalnya emang capek banget, kenapa enggak coba cari pekerjaan yang lebih ringan?”

“Maksud kamu?”

“Kan kalo menurutku, Om itu kecapekan mungkin karena pekerjaan yang sekarang gak sesuai passion atau kesukaannya Om sendiri. Makanya terasa melelahkan.”

Passion...

Mendengar beberapa kata yang sudah lama tidak aku dengar, aku berusaha memperbaiki postur tubuhku, lalu menghadap ke arahnya.

Ya, andaikan aku masih punya semua idealisme itu.

“Begitu ya. Memangnya, kamu sendiri nanti kalau udah besar mau kerja jadi apa?”

Gadis itu memikirkan sesuatu.

“Hm... Kalau aku sih mau jadi mau jadi desainer baju. Membuat desain bajuku sendiri, dan melihatnya dipakai banyak orang.”

Wah, idealisme anak SMA memang beda banget.

“Ya ampun, aku berharap masih memiliki idealisme yang sama kayak kamu. Gini ya, kalau nanti kamu udah dewasa—“

Tunggu dulu. Apa ini hal yang pantas untuk aku bicarakan dihadapan dia? Padahal tadi saat dia menjelaskan tentang mimpi pekerjaannya, wajahnya penuh kesenangan dan harapan.

Apakah aku akan menjadi orang dewasa yang jahat yang akan menghancurkan harapan seorang gadis SMA begitu saja?

Aku pun tidak jadi melanjutkan perkataanku tadi.

“—Ah, lupakah saja.”

“Eh?”

Wajah gadis itu terlihat bingung, dan sepertinya ia tidak akan puas sampai aku beri penjelasan mengenai apa yang tadi akan aku ucapkan.

“Begini, tadi aku berniat untuk mengatakan bahwa saat nanti kamu dewasa, kamu udah enggak bisa lagi terus-terusan memegang ideal dan mimpimu itu. Tapi aku tidak jadi melanjutkannya karena menurutku, untuk apa aku menegasikan mimpi seorang gadis SMA? Bukankah itu terlalu jahat?”

Banyak sekali diluar sana orang dewasa yang entah mengapa setiap kali melihat anak sekolah menampilkan atau memberitahu tentang mimpi dan idealisme mereka, langsung mematahkan dan dengan gamblang mengatakan bahwa itu tidak akan pernah terjadi.

Perkataan seperti ‘ah nanti kamu juga bakal sadar’, ‘nanti kamu juga tahu sendiri’, ‘terlalu idealis kamu’, semuanya memang terkesan untuk membangunkan orang-orang yang sedang bermimpi akan idealis mereka untuk kembali ke realita.

Namun, orang-orang dewasa sepertiku malah mengarahkannya kepada anak SMA.

Memang, akan sedikit menyebalkan mendengarkan anak SMA terlalu banyak bermimpi dan beridealis. Tapi ya itulah mereka, anak SMA. Mereka memang sedang dalam masa dimana semua hal yang ada di dunia ini terasa mungkin untuk dicapai.

Dan menurutku, itu bukanlah hal yang salah. Biarkan saja mereka yang menyadarinya sendiri. Kalau misalnya ternyata mereka benar-benar berhasil menggapai mimpi, ya bagus lah. Sudah tugas kita sebagai orang dewasa untuk bangga atas hal seperti itu, menyadari bahwa generasi setelah kita dapat lebih baik. Namun, kalau memang akhirnya mereka tertampar realita, ya biarlah realita itu sendiri yang menjadi guru mereka.

“Intinya, aku tidak ingin menghalang-halangi kalian, para anak SMA untuk bermimpi dan berusaha meraihnya. Aku hanya ingin kalian belajar sendiri bagaimana rasanya mempunyai impian. bekerja keras untuk menggapainya, atau bahkan dikhianati oleh usaha kalian sendiri. Mungkin saja, berharap bahwa generasi setelahku bisa lebih baik daripada aku adalah ideal terakhir yang masih aku pegang hingga sekarang.”

Astaga, apa yang aku bicarakan coba dengan anak SMA ini.

“Ah, maaf kalau kamu enggak ngerti dengan apa yang aku bicarakan—“

"...ternyata Om memang orang baik.”

“Huh?”

Apa aku tidak salah dengar?

Aku bisa melihat mulutnya tersenyum kecil.

“Tidak ada apa-apa. Ah, lihat keretanya akan segera datang.”

Kereta pun tiba di hadapan kami.

Sebelum pintunya terbuka, tiba-tiba saja gadis itu menanyakan sesuatu.

“Om... Beneran gak inget apa-apa?”

Sebelum aku sempat balik bertanya, ia sudah lebih dulu berjalan ke arah gerbong khusus wanita.

Pintu kereta terbuka, aku masuk ke dalam gerbong tanpa mengetahui apakah anak itu juga sudah masuk atau belum.

Karena sangat lelah, aku pun mengizinkan diriku untuk segera duduk di bangku kereta dan memejamkan mata sambil berharap agar dapat terbangun saat tiba di Depok.

Pertanyaan tadi masih tertanam di kepalaku.

Ingat? Apa yang harus kuingat?

Aku benar-benar tidak paham dengan banyak hal yang ia katakan dari tadi. Apakah dia sengaja melakukan hal seperti itu hanya karena ingin iseng denganku?

Sudahlah, aku terlalu lelah untuk memikirkan sisanya.

Lagi-lagi, aku terjebak di pusaran rahasia seorang gadis SMA.

 



[1] Peron atas Manggarai melayani perjalanan kearah Bogor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gadis SMA dan Rahasianya - Chapter 2

Bel kelas berdering. Sinar matahari senja yang masuk melewati jendela kelas menandakan bahwa hari sudah sore dan sekolah telah usai. Di ...