{Tutorial - Part 2}
Ardi perlahan mundur. Ia tidak bisa diam begitu saja melihat seorang perempuan berjalan perlahan kearahnya sambil memegang sebuah gunting yang sudah berlumuran darah.
Perlahan-lahan, tampang perempuan
itu mulai terlihat jelas. Ia mengenakan kacamata, rambut serta pakaiannya
acak-acakan sekali. Penampilannya tidak jauh berbeda dengan Ardi ketika ia
mengurung diri di kamar.
Apa mungkin, ia juga selalu
mengurung dirinya di kamar? Pikir Ardi. Lalu, Ardi menyadari sesuatu di tangan
perempuan itu. Banyak sekali bekas luka sayatan. Tidak salah lagi, keadaan
perempuan itu tidak jauh berbeda dengannya.
“Uh… Tunggu dulu, aku pikir kita
bisa—”
“—Diam!”
Belum selesai Ardi berbicara,
perempuan itu memotong pembicaraan Ardi. Rupanya, perempuan itu tidak mau mendengar
apapun dari Ardi.
“Kalian… para lelaki sama saja…
kalian semua sampah!”
Setelah ia mengatakan itu, ia
langsung bergerak maju kearah Ardi.
Eh? Ada masalah apa ia dengan
lelaki?
Ardi menyadari gerakan perempuan
itu cepat sekali. Lebih cepat dibandingkan gerakan manusia normal.
Sial, cepat sekali. Sepertinya ia
sangat benci terhadap lelaki.
Tiba-tiba saja, perempuan itu sudah berada di depan muka Ardi dan siap menusuknya menggunakan gunting yang ia pegang. Untungnya, Ardi menyadari kemana gunting itu mengarah. Karena itu, ia langsung menghindar secepat mungkin.
Tapi karena tubuh Ardi sudah jarang
digunakan untuk aktifitas atletik, setelah menghindar dari serangan perempuan
itu ia terhempas ke tanah.
“Urgh…”
Ia tidak dapat mempertahankan
keseimbangan tubuhnya setelah menghindari serangan tersebut.
Ketika ia berusaha bangkit, ia
melihat ekspresi wajah perempuan tersebut. Dan betapa terkejutnya Ardi ketika
melihat bahwa wajah perempuan itu penuh dengan aura haus darah. Ia seakan-akan
siap membunuh siapapun yang ditemuinya.
Tapi, ada hal lain yang Ardi lihat
dari wajah perempuan itu. Rasa kecewa karena dikhianati, rasa takut karena
trauma, dan rasa benci terhadap sesuatu yang pernah terjadi, ia merasa familiar
dengan semua emosi itu.
Ardi ingin sekali mengajaknya
berbicara, tapi ia sadar ketika ia merasakan aura haus darah dari perempuan itu
bahwa ia datang ke sini bukan untuk berbicara, melainkan untuk membunuh
siapapun yang ia lihat.
Menyadari hal ini, Ardi segera
berlari melewati selasar salah satu gedung kembar yang ada di situ.
Ardi sengaja berlari kearah sini
karena ia tahu bahwa denah lorong dari gedung ini cukup membingungkan. Tapi,
belum lama ia berlari, tiba-tiba perempuan itu sudah ada di sampingnya dan mengayunkan
guntingnya kearah Ardi.
Sayangnya, kali ini refleks Ardi
terlambat. Karena, walaupun ia berhasil menghindar, gunting tersebut berhasil
menyayat pundak kanan Ardi.
“Arrgh! Sial, sakit sekali.”
Walaupun Ardi bisa merasakan darah
mengucur dari pundaknya, ia tetap berlari sambil memegangi luka di pundaknya
tersebut.
“Aku harap lukanya tidak terlalu
dalam… argh.”
Rasa sakitnya sangat nyata. Tapi
mau bagaimana lagi. Bila ia memutuskan untuk bergerak lebih lambat, mungkin ia
akan langsung dibunuh oleh perempuan itu.
Ardi akhirnya melihat ujung dari lorong
di gedung tersebut. Tapi belum sampai ke ujung lorong, tiba-tiba seseorang
menariknya dan langsung menutup mulutnya.
“Ssstt! Kalau kau tidak mau
terbunuh, maka diamlah.”
Ia tidak tahu apakah orang yang
menyekapnya sekarang adalah kawan atau lawan, tapi bila dengan ini ia bisa
menghindar dari perempuan gila tadi, ia tidak keberatan bila harus diam untuk
beberapa saat.
Perlahan-lahan, terdengar suara langkah
mendekati tempat mereka bersembunyi, dan mereka berdua bisa merasakan aura haus
darah yang dikeluarkan oleh orang yang mendekati tempat mereka. Tidak salah
lagi, itu adalah perempuan yang dari tadi mengejar Ardi.
Lama-lama, perempuan itu menjauh
dari mereka. Ketika orang yang menyekap Ardi merasa situasi sudah cukup aman,
ia pun melepaskan Ardi.
“Uhuk uhuk…”
Ardi terbatuk-batuk karena sedari
tadi mulutnya ditutup paksa oleh sebuah tangan.
“Ah, maafkan aku ya tiba-tiba
sekali. Tapi perempuan itu memang sangat berbahaya, sangat tidak mungkin untuk
menghindar hanya dengan berlari, kau harus bersembunyi.”
Ardi melihat kearah orang yang tadi
menyekapnya. Rupanya, ia juga seorang perempuan. Tapi, penampilannya kali ini
tidak separah perempuan tadi. Ia mengenakan pakaian biasa dan rambutnya yang
pendek tidak membuatnya terlihat berantakan.
“Kau siapa?”
“Ah iya aku lupa memperkenalkan
diri. Mungkin kau sudah melihat namaku di <Leaderboard>. Aku Slum.”
“Slum… Eh?! Si peringkat satu?”
Ardi tidak mengira gadis yang
terlihat biasa-biasa saja ini adalah peringkat satu dalam <Tutorial>.
Yang artinya, ia adalah orang pertama yang melakukan pembunuhan di
<Tutorial>.
Ia segera menjauh dari Slum.
“Eh, tunggu. Tenang saja, aku tidak
akan membunuhmu kok. Bahkan aku akan membantumu.”
“Bagaimana aku bisa mempercayaimu?”
“Haduh… kalau kau tidak percaya,
diamlah di situ. Aku akan menyembuhkan luka mu.”
“Menyembuhkan luka ku?”
Slum mengarahkan lengannya kearah
Pundak Ardi.
“<Heal>.”
Seketika, muncul cahaya berwarna
hijau di sekitar luka sayatan di Pundak Ardi. Setelah itu, luka tersebut hilang
dan sembuh.
“Eh? Apakah ini sebuah
<Skill>?”
“Ya, itu adalah salah satu
<Skill> milikku. <Heal>.”
Ardi berusaha menggerakkan
tangannya.
Benar-benar sudah seperti biasa
lagi, pikir Ardi ketika ia sudah tidak merasakan rasa sakit bekas luka tadi.
“Jadi bagaimana? Apa kau bisa
mempercayaiku?”
Ardi melihat ekspresi wajah
perempuan itu yang tidak menunjukkan adanya motif buruk di baliknya.
Mungkin aku akan mempercayainya.
Tapi aku tetap akan berjaga-jaga, aku tidak ingin pikiran naifku menipuku lagi.
“Baiklah, aku mungkin bisa
mempercayaimu.”
“Bagus.”
Slum tersenyum kearah Ardi.
“Jadi, sekarang apa yang harus kita
lakukan?”
Ardi merasa seorang peringkat satu
seperti Slum mungkin tahu sesuatu tentang <Tutorial> ini. Jadi, ia
memutuskan untuk bertanya kepadanya.
“Ikuti aku.”
Mereka berdua pun berjalan keluar
dari tempat itu.
Setelah melewati beberapa bangunan
dan taman, akhirnya mereka tiba di suatu tempat. Di kampus ini, tempat itu
disebut sebagai ‘Sunken Court’ karena letaknya yang sedikit masuk ke bawah
tanah. Di tempat itu terdapat bangku dan meja yang biasa digunakan oleh para
mahasiswa untuk belajar.
Tentu saja, Ardi sangat familiar
dengan tempat ini karena dulu ia juga sempat belajar bersama teman-temannya di
sini.
Tapi bukan tempat itu sendiri yang
menjadi perhatian dari mereka berdua, melainkan salah satu sudut yang ditunjuk
oleh Slum.
“Lihat dia.”
Ia menujuk kearah seorang lelaki
yang sedang meringkuk di dekat situ. Tubuhnya gemeteran seperti merinding
karena takut akan sesuatu.
Ardi datang mendekatinya. Ia bisa
mendengar pria itu bergumam tanpa henti.
“Tolong aku… tolong aku… tutorial,
administrator, semua ini gila. Tolong aku…”
Ardi melirik kearah Slum. Slum pun
mulai menjelaskan maksudnya membawa Ardi ke sini.
“Ada dua cara untuk menyelesaikan
<Tugas> pertama ini. Keduanya memiliki obyektif yang sama, yaitu
memasukkanmu ke dalam <Leaderboard>.”
Ardi mengerti akan itu.
Bagaimanapun juga, sebelum waktu habis ia sudah harus bisa masuk ke
<Leaderboard>.
“Cara pertama adalah dengan diam
dan menunggu <Player> yang tersisa hanya lima orang. Dengan begitu, kau
secara otomatis akan masuk ke dalam <Leaderboard> walaupun <Point>
mu masih kosong.”
Jadi, karena di <Leaderboard>
hanya terdapat lima tempat, sementara total <Player> yang ada di sini ada
sepuluh, maka bila tersisa lima, kelima orang tersebut akan langsung masuk ke
<Leaderboard> ya. Ardi merasa strategi seperti itu sangat baik bila ia
tidak ingin mengambil resiko terbunuh oleh orang seperti perempuan gila tadi.
“Dan cara kedua, adalah dengan
membunuh <Player> lain.”
Slum melirik kearah pria yang
meringkuk itu.
“Bunuh dia.”
“Tunggu, tapi kan kita masih bisa
selamat menggunakan cara pertama tadi. Kenapa aku harus membunuhnya?”
“Resiko dari cara pertama terlalu
besar. Bagaimana kalau ternyata jumlah <Player> masih lebih dari lima dan
ada yang menemukan sebuah <Item> untuk menambah <Point>?”
“<Item>… ah iya, aku ingat.
Kalau tidak salah kau bisa menambah <Point> dengan bantuan <Item>.”
“Iya kan? Makanya, aku lebih
menyarankan agar kau memilih cara kedua. Walaupun sebenarnya ada alasan lain
kenapa kau harus memilih cara kedua. Tapi…”
“Apa itu?”
“Ah, kau harus melakukannya sendiri
agar mengerti. Karena itu, bunuh dia sekarang juga.”
Ardi masih ragu-ragu. Ia berulang
kali melihat kearah pisau lipatnya dan orang yang meringkuk itu.
Apakah aku harus benar-benar
membunuh orang ini? Ia hanyalah orang yang takut dan bingung…
Baru saja Ardi berpikir seperti
itu, tiba-tiba tubuh orang itu mengeluarkan cahaya berwarna merah.
“Oh tidak. Ardi! Menjauh dari situ!”
Mereka berdua pun bergerak menjauh.
Sayangnya, mereka berdua terlambat karena tiba-tiba saja pria itu berdiri dan
melompat kearah Ardi.
Ardi terjatuh dan tertindih oleh pria
itu. Saat Ardi melihat wajahnya, wajah pria itu sudah berubah. Yang pada awalnya
terlihat seperti wajah orang biasa yang ketakutan, sekarang wajahnya terlihat
seperti terbagi dua. Sisi kanan wajahnya berupa wajah manusia biasa, sementara
sisi lainnya seperti tidak berbentuk dan berwarna hitam pekat. Yang mencolok
dari mukanya adalah warna matanya yang berwarna merah menyala.
“Argh! Sial.”
Pria itu terlihat berusaha untuk
mencakar dan menggigit Ardi layaknya binatang buas. Walaupun seperti itu, Ardi
masih berusaha untuk menahan tangannya dan berusaha menjauhkan pria itu dari
tubuhnya.
Slum yang melihat situasi itu
terpikirkan suatu cara untuk mengatasinya. Tapi, ia takut cara tersebut akan
membahayakan Ardi. Namun, bila ia tidak melakukan apapun maka Ardi bisa saja
diterkam oleh pria itu.
Baiklah, mau bagaimana lagi. Pikir
Slum.
“Ardi! Bersiaplah!”
“Apa yang akan kau lakukan?”
“Percayalah padaku. Tapi aku ingin
kau menahannya sekuat tenaga.”
“Apa maksudmu?”
“Sudahlah, bersiap-siap saja.”
Slum pun mengarahkan kedua telapak
tangannya kearah pria yang mengamuk itu. Ketika ia sudah memastikan posisi
sasarannya agar tepat dan tidak mengenai Ardi, ia pun merapalkan salah satu
<Skill> miliknya.
“<Lightning>!”
Seketika, sebuah petir menyambar
kearah pria itu dan mengenainya.
“Guaargh!”
Pria itu pun tidak sadarkan diri dan
jatuh menimpa Ardi.
“Ugh…”, Ardi menyingkirkan tubuh
pria itu dan berdiri.
“Sudah kubilang kan, kau harus
segera membunuhnya.”
“Tapi kan aku tidak tahu kalau dia
akan berubah seperti itu. Lagipula, apa semua orang yang ketakutan akan berubah
menjadi kayak gitu di sini?”
“Tentu tidak, tapi—”
Slum menyadari sesuatu dari tubuh pria
tadi.
“—Tunggu, ada yang aneh.”
“Kenapa?”
“Aku tidak yakin dia benar-benar
sudah mati.”
Mereka berdua melihat kearah pria
itu. Perlahan-lahan, tubuh pria itu kembali bergerak sambil merangkak.
Walalupun tubuhnya sudah setengah hancur dan gosong, ia masih bergerak
menggeliat dengan suara yang kurang mengenakkan untuk didengar.
“Sudah kuduga ia belum mati.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Bunuhlah dia sekarang, Kau akan
mengetahui bagaimana aku tahu dia belum mati.”
Ardi membuka pisau lipat nya. Lalu
ia pun menusukkan pisau tersebut ke leher pria itu.
“Aghh…”
Mungkin karena bentuk tubuh pria
itu sudah tidak terlihat seperti manusia lagi, ia bisa dengan mudah menusuk
tubuh pria itu.
Ia masih hidup. Kalau begitu akan
kucoba lagi.
Ardi kembali menusukkan pisau
tersebut ke pria itu. Terus menerus hingga akhirnya…
[Selamat! Kau mendapatkan <25 Point>!]
“Apa kau sudah melihat tulisan yang
memberitahumu bahwa kau mendapatkan <Point>?”
Ardi mengangguk.
“Nah, itu adalah tanda bahwa orang
yang kau bunuh sudah benar-benar mati. Sekarang, coba perhatikan layarmu lagi.”
Ketika Ardi kembali melihat ke
layar di depannya, ia melihat sebuah pemberitahuan baru.
[Kau dapat mengambil <Skill>
dari <Player> yang kau bunuh. Apa kau ingin mengambilnya?
<Ya/Tidak>]
“Ambil lah. Kau memerlukannya.”
Ucap Slum seakan mengetahui apa
yang sedang Ardi lihat di layarnya.
“<Ya>.”
[Selamat! <Skill> baru sudah
ditambahkan ke <Status> mu!]
Ardi membuka layar <Status>
nya.
[Status]
Name: <Ardi Rian> | Username:
<Solus> | Class: <None>
Level: <1> | Point:
<25> | Rank: <NULL>
Skill: <Creation Lv.1>;
<Berserk Lv.1>
“Hey lihat, <Leaderboard> nya
juga ikut berubah.”
Slum menunjuk ke atas tempat
<Leaderboard> berada. Ardi pun ikut melihat kearahnya.
[Leaderboard]
Rank 1: <Slum 150Point>
Rank 2: <Lilith 98Point>
Rank 3: <A99R 75Point>
Rank 4: <Solus 25Point>
“Oh, Jadi namamu ‘Solus’ ya.”
“Ah iya aku lupa memberitahumu.”
“Tidak apa santai saja. Jadi,
<Skill> apa yang kau dapat?”
“Aku mendapatkan <Berserk>.”
“Sudah kuduga…”
“Apa maksudmu?”
“Pria itu mengamuk tiba-tiba karena
<Skill> miliknya sendiri, <Berserk>. Mungkin ia sudah terlalu jauh
termakan oleh pikirannya sehingga <Berserk> mengambil alih tubuhnya.
<Berserk> adalah tipe <Skill> yang cukup berbahaya. Ia bisa
diaktifkan secara langsung dan tidak. Untuk mengaktifkannya secara langsung,
kau dapat menggunakan cara seperti mengaktifkan <Skill> lainnya. Tapi,
cara untuk mengaktifkannya secara tidak langsung adalah…”
“…dengan kehilangan kesadaran atau
kehilangan akal sehat.”
“Iya, kau benar.”
“Ada juga ya <Skill> seperti
itu…”
“Tentu ada…”
Muncul rasa curiga di benak Ardi
ketika Slum dengan mudah dan detilnya menjelaskan tentang <Berserk>.
Bagaimana ia bisa mengetahui banyak
hal tentang <Tutorial> ini padahal ia baru saja memulainya bersamaku? Bagaimana
juga ia tahu cara kerja dan macam-macam <Skill> yang ada?
Kecurigaan ini tentu muncul bukan
karena tanpa dasar yang jelas. Ardi merasa curiga karena dari awal, Slum tidak
pernah menanyakan tentang namanya dan langsung bersikap familiar dengannya.
Lalu, Slum juga sepertinya mengetahui lokasi-lokasi untuk hal-hal tertentu,
seperti contohnya tempat orang tadi meringkuk ketakutan.
Tapi untuk saat ini Ardi akan
berusaha untuk mempercayainya, karena ia sudah menyelamatkan Ardi dengan
<Lightning> saat hampir diterkam oleh pria aneh tadi.
“Ah iya, aku lupa memberitahumu.
Jadi alasanku meminta agar kau sendiri yang membunuhnya adalah agar kau dapat
mendapatkan <Skill> miliknya. Setiap kali kau berhasil membunuh seorang
<Player>, <System> akan secara acak memberikanmu salah satu
<Skill> yang dimiliki oleh <Player> tersebut. Kalau <Player>
itu hanya memiliki satu buah <Skill>, maka <Skill> itu lah yang
akan diberikan kepadamu.”
Ah, aku mengerti. Itulah kenapa aku
mendapatkan <Berserk> milik pria tadi. Tapi…
“Apakah <System> yang kau
maksud adalah layar yang biasa muncul di depan kita?”
“Bisa dibilang begitu. Walaupun
lebih tepatnya dia adalah ‘mesin’ di balik semua ini.”
“Bagaimana kau tahu soal—"
“—Baiklah, karena kau sudah
berhasil masuk <Leaderboard>, kita hanya perlu menunggu waktunya habis
saja. Lihatlah, sisa pemainnya hanya tinggal enam orang.”
Slum memotong pertanyaan Ardi. Ardi
yakin bahwa Slum berusaha untuk menghindari pertanyaannya. Kecurigaannya
terhadap Slum semakin tinggi.
Tapi, bila ia memang berniat
membantuku, maka aku tidak terlalu masalah dengan hal itu,
Ardi kembali melihat ke layar
<Tugas> yang di situ tertera jumlah <Player> yang tersisa.
[Jumlah Player: <6/10>]
[Jumlah Player: <5/10>]
Kayaknya ada yang berhasil masuk ke <Leaderboard> lagi. Lalu Ardi
melihat kearah <Leaderboard>.
“Eh lihat, ada <Player> baru
memasuki <Leaderboard>. Namanya cukup unik.”
Ardi memberitahu Slum bahwa ada
nama baru yang muncul di dalam <Leaderboard>.
“Mana?”
Ketika Slum melihat kearah
<Leaderboard>…
[Leaderboard]
Rank 1: <Slum 150Point>
Rank 2: <Lilith 98Point>
Rank 3: <A99R 75Point>
Rank 4: <Solus 25Point>
Rank 5: <C 10Point>
“Sial!”
“Kenapa Slum?”
“<Player> bernama ‘C’ itu,
dia bukanlah manusia.”
“Apa maksudmu…”
Belum sempat Ardi bertanya mengenai
hal itu, tiba-tiba isi dari <Leaderboard> berubah lagi.
[Leaderboard]
Rank 1: <Slum 150Point>
Rank 2: <Lilith 98Point>
Rank 3: <C 85Point>
Rank 4: <Solus 25Point>
“Apa…”
“Tidak mungkin…”
“Ia membunuh ‘A99R’?”
“Kita tidak bisa diam saja dan
menunggu. Kita harus mencari tempat bersembunyi. Ardi, ikuti aku. Kita tidak
boleh sama sekali bertemu dengan ‘C’ itu.”
“Baiklah.”
Ardi memutuskan untuk mengikuti
kata-kata Slum. Ia juga merasakan sesuatu yang aneh, karena dengan mudahnya <Player>
bernama ‘C’ itu membunuh ‘A99R’ yang sebelumnya merupakan peringkat tiga.
Di layar <Tugas> pun juga
terlihat bahwa <Player> yang tersisa hanyalah empat orang.
Berarti, kalau ‘C’ adalah
<Player> yang masih belum diketahui, itu artinya perempuan yang aku
termui di awal adalah ‘Lilith’ ya. Ardi mencapai kesimpulan bahwa dengan
kemampuan yang ia lihat sendiri saat bertemu dengan perempuan yang tiba-tiba
menyerang Ardi di awal <Tutorial>, perempuan itu adalah ‘Lilith’, si
peringkat dua.
Awalnya ia ingin berasumsi bahwa
perempuan itu adalah ‘C’ yang baru memasuki <Leaderboard>. Tapi ia
teringat dengan gunting yang berlumuran darah yang dipegang oleh perempuan itu.
Yang artinya, ia sudah membunuh seseorang sebelumnya dan langsung menjadi
peringkat dua. Ditambah, tadi Slum mengatakan bahwa ‘C’ bukanlah manusia.
Aku tidak tahu ‘C’ itu siapa, tapi
yang pasti aku bisa saja mati bila bertemu dengannya.
Setelah beberapa menit berjalan,
akhirnya mereka tiba di depan sebuah gedung. Ardi cukup familiar gedung ini
karena setiap kali ada perkuliahan, tempat ini cukup sering digunakan untuk kelas
kuliah. Dan juga, yang unik dari gedung ini adalah posisi tangganya yang
seringkali membuat mahasiswa tersesat dan bingung.
“Untuk sementara, kita akan
bersembunyi di gedung kuliah umum ini.”
“Kenapa di sini?”
Slum tersenyum. Lalu ia mengetuk
dua kali salah satu pilar yang ada di situ. Setelah itu, muncul sebuah layar
ditempat ia mengetukkan tangannya.
[Special Zone]
Name: <Gedung Kuliah Umum Lama>
Type: <Safe Zone>
Restriction: <Magic-type
Skill>; <Melee-type Skill>
“Gedung ini adalah sebuah <Safe
Zone>. Kau tidak akan bisa menggunakan <Skill> mu di sini. Karena itu
ini sangat cocok untuk berlindung. Dan mungkin karena kau berkuliah di sini,
kau akan cukup familiar dengan tempat ini. Aku dengar tangganya suka
membingungkan orang ya? Hahaha.”
Kecurigaan Ardi semakin tinggi.
Bagaimana Slum tahu bahwa ini adalah sebuah <Safe Zone>? Bagaimana ia
tahu bahwa Ardi berkuliah di sini? Ardi merasa bahwa ini adalah waktu yang
tepat untuk meluruskan kecurigaannya.
“Slum.”
Slum melihat kearah Ardi.
“Iya?”
“Katakan padaku, siapa kau
sebenarnya?”
“Aku? Ya seperti yang kau tahu, aku
adalah peringkat sa—”
“Jawab aku. Siapa kau?”
Slum mengurungkan niatanya untuk
menjawab sambil bercanda seperti tadi. Ia melihat bahwa Ardi menampakkan wajah
yang cukup serius. Karena itu, Slum memutuskan untuk menjawabnya dengan serius
juga.
“Ah… berarti kau sudah menyadarinya
ya?”
“Kau yang tiba-tiba bersikap
familiar denganku tanpa menanyakan namaku, kau yang tau cara kerja sebuah
<Skill> padahal <Tutorial> baru dimulai, kau yang tahu siapa itu
‘C’ padahal ia baru muncul, dan kau juga tahu bahwa gedung ini adalah sebuah
<Safe Zone> dan aku berkuliah di sini padahal kita tidak pernah bertemu.”
Slum hanya terdiam. Lalu ia
mengangguk seakan-akan mengakui bahwa yang diucapkan oleh Ardi itu benar.
“Beritahu aku Slum, apakah ini kali
pertamamu mengikuti <Tutorial>?”
Merasakan hawa yang sangat tegang
ini, Slum menghela nafas. Lalu, ia menjawab pertanyaan Ardi sambil tersenyum.
“Tidak, ini bukan kali pertama aku
mengikuti <Tutorial>.”
- Bersambung
***
Ga nyangka gw beneran ngelanjutin sampe chapter 2 wkwkwkwk. Btw makasih waktunya buat baca q(≧▽≦q) . (H-2 semester baru huuhuu /(ćoć)/~~)
![]() |
Sampai ketemu lagi di chapter lainnya! |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar